Lewat Bedah Buku di Jogja, Kalangan Akademisi Soroti Kekeliruan Hakim di Kasus Mardani Maming
WARTAJOGJA.ID : Sejumlah akademisi membedah putusan hakim dalam mengadili perkara Mardani Maming, di Yogyakarta Sabtu (4/10/2024).
Diketahui, putusan pengadilan terhadap terpidana kasus suap izin pertambangan, Mardani H Maming mendapat sorotan dari sejumlah pakar hukum.
Pada awal tahun 2024 ini, Centre for Local and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) telah mengadakan eksaminasi kasasi MA atas perkara yang menjerat mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan itu.
Ada sepuluh eksaminator yang hadir dan memberikan catatan. Diantaranya Hanafi Amrani, Ridwan, Mudzakkir Eva Achjani Zulfa, Mahrus Ali, Karina Dwi Nugrahati Putri, Ratna Hartanto, Ridwan Khairandy, Arif Setiawan, dan Nurjihad.
Kajian dari para pakar tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah karya buku berjudul Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim Dalam Menangani Perkara Mardani H Maming.
Saat acara bedah buku di Sleman, Sabtu (5/10/2024), salah satu eksaminator sekaligus editor Mahrus Ali menilai perbuatan Mardani Maming yang mengeluarkan SK Bupati Nomor 296/2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) dari PT BKPL kepada PT PCN, tidak melanggar aturan.
"Norma pasal 93 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu ditujukan kepada pemegang IUP, bukan pada jabatan Bupati. Sepanjang syarat dalam ketentuan tersebut terpenuhi, maka peralihan IUP diperbolehkan," kata pengajar Hukum Pidana FH UII itu.
Guru Besar Hukum Administrasi Negara FH UII, Ridwan mengatakan, permohonan peralihan IUP-OP itu tidak perlu melampirkan syarat administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial. Pasalnya, persyaratan tersebut melekat pada izin yang telah dialihkan.
Menurut eksaminator lainnya yang merupakan dosen Departemen Hukum Bisnis FH UGM, Karina Dwi Nugrahati Putri, jika dapat dibuktikan bahwa penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR murni berasal dari keuntungan pengoperasian pelabuhan PT ATU berdasar perjanjian yang sah, maka asumsi bahwa penerimaan tersebut berkaitan dengan peralihan IUP-OP melalui SK Bupati menjadi tidak berdasar.
"Judex Facftie telah mengesampingkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan mengenai adanya penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR tidak ada kaitannya dengan peralihan IUP-OP dan bukan sebagai hadiah," papar Karina.
Dalam perkara ini, Mardani H Maming dijatuhi pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan. Mardani juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 110,6 miliar. Dia dinyatakan bersalah melanggar pasal 12 huruf b jo pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor.
Dalam persidangan sebelumnya, jaksa KPK mendakwa Mardani menerima uang suap senilai Rp 118,75 miliar berkaitan dengan persetujuan IUP kepada PT Prolindo Cipta Nusantara di Kabupaten Tanah Bumbu. Persetujuan itu dituangkan dalam bentuk SK Bupati 296/2011.
Buku tersebut merupakan hasil eksaminasi yang dilakukan para akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta atas kasus suap izin usaha pertambangan Tanah Bumbu Kalimantan Selatan yang menjerat Mardani Maming.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan & Alumni UII Rohidin mengatakan, buku ini menarik karena secara ideal kesalahan seharusnya tidak terjadi pada hakim yang mestinya harus bersifat bijaksana. Hakim sebagai pengadil, kata dia harus memiliki kemampuan memutuskan perkara dengan tepat dan cepat dalam situasi dilematis.
"Putusan itu juga harus berdasarkan pertimbangan kualitatif, bukan kuantitatif serta kemanusiaan dan kemaslahatan. Itu semua untuk kepentingan bersama atau semua pihak," katanya.
Menurut Rohidin, hakim harus memberikan kesempatan kepada pihak yang berperkara secara seimbang, bukan semata-mata seimbang dan proporsional tapi adil dan juga berpihak pada kebenaran.
Maka judul buku ini secara substansif mengungkap kesalahan dan kekhilafan hakim yang kontradiksi dengan tugas hakim secara ideal yang berpihak pada kebenaran.
"Memang hakim itu manusia yang tidak bisa lepas dari khilaf dan kesalahan. Tidak menutup kemungkinan hakim bisa melakukan kesalahan, secara prosedural maka hakim bisa dikoreksi," jelasnya.
Guru Besar FH UI Topo Santoso menjelaskan, penerbitan buku itu merupakan usaha yang sangat penting bagi kalangan akademisi dalam mengkritisi putusan pengadilan.
Sebab seperti alasan peninjauan kembali (PK) selalu ada kemungkinan hakim khilaf sama seperti Kasasi yakni penerapan hukum yang keliru. Maka kekritisan dan upaya untuk eksaminasi dan catatan kritis harus diterima kalangan peradilan.
"Dalam beberapa kasus jelas dalam putusan apakah banding, Kasasi atau PK ada putusan MA yang mengkoreksi putusan Kasasi atau putusan tingkat banding, artinya sangat bisa terjadi kemungkinan terjadi kekeliruan," ujarnya.
Maka, lanjut Topo sudah seharusnya hakim tidak perlu khawatir dengan adanya sikap kritis dari kalangan akademisi yang justru membantu peradilan dalam melakukan putusan yang lebih adil.
Pihaknya berharap adanya buku ini menghadirkan introspeksi dari kalangan peradilan untuk melihat kalau ada kekeliruan itu dimana sehingga bisa dikoreksi, ketika perkara itu bergulir pihaknya berharap majelis hakim bisa menggunakan masukan masyarakat.
"Itu untuk menjadi pertimbangan di luar dari upaya hukum terdakwa," katanya.
Post a Comment