Lembaga Sensor Film Gandeng UGM Gelar Literasi Film Bagi Masyarakat Digital di Yogyakarta
WARTAJOGJA.ID : Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF) menggelar kegiatan Literasi Film Bagi Masyarakat Digital di Provinsi D. I. Yogyakarta bertajuk "Memajukan Budaya, Menonton Sesuai Usia" bekerja sama dengan Departemen limu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Selasa 20 Agustus 2024.
Hadir sebagai narasumber Noorca M Massardi selaku Ketua Subkomisi Dialog LSF RI, Dian Arymami Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Bobby Prasetyo sutradara film, serta artis Yasmin Napper.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas'udi, menuturkan transformasi digital mengubah arah pandangan masyarakat terhadap sebuah produk informatika.
"LSF menjadi pintu masuk sangat penting, semua film lewat LSF. Kami senang akhirnya di Fisipol UGM bisa bekerjasama dengan LSF, ini bukan kepentingan Fisipol saja tetapi semuanya," ungkapnya.
Wawan menyebut film menjadi salah satu media membentuk kesadaran publik, maka dari itu masyarakat diimbau selalu bijak dalam memilih tontonan bagi keluarga.
Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto, mengungkapkan kegiatan Literasi Film ini menjadi komitmen Lembaga Sensor Film Republik Indonesia sebagai Lembaga Negara Independen yang memiliki tugas melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum.
Mengacu Pasal 61 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, mengamanatkan LSF untuk (memasyarakatkan penggolongan usia penonton film dan kriteria sensor film; membantu masyarakat agar dapat memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film; mensosialisasikan secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pembuat dan pemilik film agar dapat menghasilkan film yang bermutu.
Rommy melanjutkan demokratisasi dunia perfilman terutama menyangkut copyright atau hak cipta sudah dapat dirasakan.
Beberapa tahun silam ketika produksi fil. Menggunakan pita seluloid, kerja LSF memeriksa tiap bagian pite seluloid tersebut.
"Jadi ketika diterawang kok ada adegan telanjang, itu LSF berhak menggunting. Kemudian disambung pakai selotip. Sambungan adegan itu disimpan. Tapi sekarang kerja LSF tidak menyentuh sama sekali karya para sineas," ungkapnya dihadapan ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM.
Hal ini menandakan bahwa demokrasi dalam sebuah industri film sudah muncul. LSF tidak lagi mengutak atik karya seseorang, melainkan hanya memberi catatan-catan ketika sebuah film masih bermuatan unsur pornografi atau adegan berbahaya lainnya.
Tetapi permasalahan yang dihadapi saat ini ialah pembatasan visual pada media televisi bioskop dan sejenisnya, tidak dibarengi dengan pengawasan serta tindakan serupa pada produk visual yang beredar dijaringan informatika baik itu media sosial maupun platform digital sejenis.
"Sekarang jaman digital orang lebih mudah nonton pakai gadjet. Terus gak disensor, ini yang dijaringan informatika bagaimana? Ini sebenarnya policy (kebijakan) negara," terang Rommy.
Menurutnya Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjamin mereka yang mengoperasikan sistem elektronik disebut Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Tetapi sampai dengan saat ini Peraturan Pemerintah (PP) tentang PSE belum ada, sehingga publik yang menggunakan metode over-the-top (OTT) atau sebuah platform utama dengan skala besar tidak tersentuh.
Pasalnya aturan penayangan konten media streaming melalui platform utama OTT ini menurut Rommy belum jelas.
"Kalau PSE publik misal penayangan di OTT boleh ada adegan telanjang atau tidak. Kalau boleh misal dibatasi 5 detik atau berapa? Jadi PSE publik belum ada. Ini yang terus kami dorong. Di Tv dilarang, tapi di jaringan informatika tidak dikontrol," terang dia.
Rommy mengakui kewenangan LSF dalam melakukan upaya pengawasan dan tindakan tegas sangat terkait kontrol produk informatika melalui jaringan informasi sangat terbatas.
Dibutuhkan peran pemerintah melalui produk hukum yang dapat diimplikasikan berupa penindakan positif.
Masyarakat juga diharapkan melakukan sensor mandiri, sebab akses internet saat ini begitu mudah.
"Ini yang kami lakukan bersama Fisipol UGM mari melaksanakan sensor mandiri. Karena (produk-produk) gak bisa terbendung sementara orang aksesnya gampang. Kalau nonton film sesuai klasifikasi usia," pungkasnya.
Post a Comment