Ruang Dialog BPKH: Harmonisasi Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia
WARTAJOGJA.ID : Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bekerjasama dengan Suara Muhammadiyah (SM) menyelenggarakan Seminar bertajuk “Ruang Dialog BPKH: Harmonisasi Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia” pada Jum’at (17/05) di Ballroom SMTorium, SM Tower & Convention Malioboro Yogyakarta.
Dialog yang membedah terkait penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia ini dihadiri oleh Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag RI Hilman Latief; Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan, Anggota Badan Pelaksana BPKH Acep Riana Jayaprawira; Ketua Umum PP Muhammadiyah yang hadir melalui tayangan video, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas; Dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) Diska Arliena Hafni.
Turut hadir Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media (PT SCM)/Suara Muhammadiyah Deni Asy’ari.
"Saya bersyukur uangnya sudah tidak saya pegang. Kalau saya pegang uangnya, bahaya,” ujar Hilman Latief di acara itu.
Menurutnya perlu ada pemisahan antara otoritas, pengelolaan, dan penggunaan keuangan haji. Pemisahan ini tak lain sebagai upaya untuk memahami proses bisnis haji yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat secara luas.
“Karena ada otoritas yang menggunakan dan ororitas yang mengelola atau memegang. Ini bisa menjadi pelajaran bagi Persyarikatan. Orang yang sudah diberikan otoritas untuk mengelola itu jangan diberikan otoritas untuk menggunakan, itu bahaya. Saya sebagai pengguna uang jamaah haji bertugas merumuskan biaya haji berapa. BPKH adalah pengelola uangnya dan saya tidak pegang uang sama sekali. Ketika saya butuh sekian, adu argumen, dibahas dengan DPR, BPKH, dan Kementerian Agama, mana yang paling rasional, nanti diputuskan bersama. Saya sedang menata betul antara otoritasi, pemegang dan pengguna agar menjadi lebih baik,” ucap Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU).
Hilman menegaskan bahwa posisi Kementerian Agama adalah sebagai pengguna yang memiliki tugas untuk menetapkan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) yang terdiri dari 14 item. Mulai dari layanan transportasi, akomodasi, konsumsi, layanan dalam negeri dan luar negeri, visa, perlindungan, yang semuanya itu disusun dalam satu anggaran yang disebut BPIH. Ia menambahkan, BPIH bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang dibayarkan oleh jamaah.
Untuk melayani jamaah haji, Kementerian Agama mengambil dari APBN, itu artinya para petugas haji tidak diperbolehkan mengambil sepeserpun dana oprasional dari uang yang disetorkan jamaah haji. “Ketika jamaahnya bertambah, kloternya bertambah, maka saya harus mencari pendanaan dari APBN untuk bagaimana bisa membiayai para petugas. Gambarannya seperti itu,” jelasnya.
Sementara Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Pusat Dr H Amirsyah Tambunan, MA menyebut transparansi dalam pengelolaan keuangan Haji sangat relevan.
Hal tersebut menyangkut salah satunya mengenai kepercayaan jamaah haji.
“Transparansi membangun kepercayaan antara penyelenggara Haji dan jamaah. Dengan menyediakan informasi yang jelas dan terbuka tentang pengelolaan dana Haji, jamaah Haji dapat merasa yakin bahwa dana mereka dikelola dengan benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,” katanya.
Selain itu, transparansi menyangkut keadilan finansial. Bagi Amirsyah, transparansi ini memastikan keadilan finansial bagi jamaah yang menunaikan ibadah haji di tanah suci. Menurutnya ini sangat penting disosialisasikan agar dapat mengetahui dengan jelas hal ihwal biaya-biaya dan investasi yang terkait dengan perjalanan Haji.
“Jadi keadilan finansial ini penting kita sosialisasikan kepada semua pihak. Supaya keadilan finansial ini bisa menutup celah gharar, maysir, dan lain-lain, termasuk judi,” tuturnya.
Amirsyah menjelaskan gharar secara bahasa berarti keraguan, al-khidā’ (penipuan), alkhāthr (pertaruhan) dan al-jahālāh (ketidakjelasan). Yaitu suatu tindakan yang di dalamnya terdapat unsur pertaruhan dan judi.
Gharar merujuk pada situasi di mana terdapat ketidakpastian atau ketidakjelasan yang signifikan terkait dengan suatu transaksi atau investasi. Dalam tinjauan fikih, kata gharar didefinisikan sebagai suatu ketidaktahuan terhadap akibat suatu perkara, kejadian atau peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli atau ketidakjelasan antara baik dengan buruknya.
“Dengan demikian, jual beli gharār adalah semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian karena tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserah terimakan,” jelasnya.
Amirsyah menambahkan, mengelola keuangan haji itu harus jelas. Mulai dari awal sampai akhir, sehingga bisa terhindar dari gharar. “Jadi bagi kita mengelola dana haji itu sebenarnya enteng, yang penting transparan dan akuntabel. Tidak ada yang berat. Yang berat itu cari uang,” ucapnya.
Dialog tersebut bertujuan untuk memperkaya wawasan dan pemahaman umat tentang “Sistem Baru" pengelolaan keuangan haji juga menambah kepercayaan publik bahwa Dana Haji telah dikelola secara syariah, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Selain itu, dialog tersebut diharapkan dapat melawan penyesatan opini dan disinformasi tentang dana haji.
Pasalnya, tata kelola pengelolaan ibadah haji di Indonesia dapat dikatakan unik terutama dalam masalah pembiayaannya. Setidaknya ada tiga pihak yang terlibat secara langsung dalam urusan pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji ini: Pemerintah (kementerian agama), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Secara garis besar, peran ketiga pihak tersebut adalah sebagai berikut: Kementerian Agama dapat disebut sebagai operator atau panitia penyelenggara yang mengurus dan menanggung semua kebutuhan dan keperluan jamaah haji, mulai dari sebelum berangkat ke tanah suci sampai nanti kembali ke tanah air. BPKH bertugas mengoptimalisasi dana haji yang telah disetor oleh calon jamaah. Sedangkan DPR-RI bersama-sama pemerintah menentukan besaran anggaran penyelenggaraan ibadah haji.
Sebelum terbentuknya BPKH, urusan pembiayaan haji hanya melibatkan pemerintah (Kementerian Agama) dengan DPR-RI. Dana yang setor oleh calon jamaah haji menjadi sumber utama dana haji dan dikelola sepenuhnya oleh kementerian agama dengan segala cerita seru yang mengiringinya.
Merujuk pada diktum terutama huruf D UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, yang berbunyi: bahwa akumulasi dana haji berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; calon jamaah haji dapat berharap pelayanan haji yang diselenggarakan pemerintah akan jauh lebih baik dengan biaya yang semakin rasional karena dana yang haji terakumulasi semakin besar dan nilai manfaatnya juga dapat lebih dioptimalkan.
Setelah adanya pandemi Covid-19 yang memaksa dunia menunda haji selama 2 tahun, biaya haji mengalami kenaikan secara gradual, keterangan dari kementerian agama serta penjelasan Badan Pengelola Keuangan Haji, kenaikan biaya di dua musim haji terakhir dan musim haji berikutnya telah menjadi semacam keniscayaan. Pada tahun-tahun sebelum era BPKH jamaah yang akan berangkat mendapatkan “subsidi” dari hasil optimalisasi dana haji namun tidak bagi jemaah tunggu, hal ini tidak memenuhi asas keadilan bagi seluruh calon jemaah haji. Setelah BPKH lahir pada tahun 2017, BPKH diamanatkan undang-undang untuk mendistribusikan nilai manfaat kepada jemaah tunggu dari hasil pengelolaan melalui rekening virtual account. Jika skema sebelum era BPKH terus dilanjutkan maka tidak lama lagi seluruh uang hasil optimalisasi dana haji dapat habis bahkan harus memakai dana pokok yang disetor oleh jamaah yang masih berada di dalam daftar antrian. Dalam timbangan keadilan praktek ini dapat dikatakan menzalimi calon jamaah yang sedang dalam antrian karena nilai manfaat dana mereka dipakai untuk “mensubsidi” jamaah yang terdahulu.
Oleh karena itu literasi tentang pembiayaan dan pengelolaan keuangan haji ini menjadi suatu keniscayaan. Tanpa literasi yang baik, rakyat akan jatuh dalam pemahaman yang salah dan kesimpulan yang sesat. Oleh karenanya, melalui kegiatan Ruang Dialog BPKH ini, diharapkan dapat melahirkan harmonisasi pemahaman tentang penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia.
Badan Pengelola Keuangan Haji
BPKH adalah lembaga yang melakukan pengelolaan Keuangan Haji. BPKH merupakan badan
hukum publik yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia. BPKH Dibentuk berdasarkan Undang Undang No. 34 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Keuangan Haji dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 tahun 2017
Post a Comment