Badan Pangan Nasional Gelar FGD Bedah Buku Daulat Pangan, Dorong Kemandirian Pangan
WARTAJOGJA.ID: Dalam rangka membangun kedaulatan pangan berkelanjutan dan penganekaragaman konsumsl dan keamanan pangan, Deputl Penganekaragaman Konsumsi dan. Keamanan Pangan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) melalui Bedah Buku dengan Judul Daulat Pangan Beragam, Bergizi Seimbang dan Amann pada Selasa 2 April 2024 di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta.
Hadir dalam acara itu Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi Dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional Andriko Noto Susanto
Sektor kuliner sebagai pendukung pariwisata beberapa tahun terakhir mengalami tren positif atau panen peminat.
Naiknya tren wisata kuliner saat ini dinilai menjadi momen paling pas untuk mulai menggeser bahan bahan pangan impor yang masih mendominasi sebagai bahan baku.
"Salah satu kuliner kesukaan masyarakat Indonesia itu mie, tapi mie ini dibuat dari bahan tepung terigu yang 100 persen impor," kata Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi Dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional Andriko Noto Susanto dalam bedah buku Daulat Pangan di Yogyakarta Selasa.2 April 2024.
Padahal, kata Andriko, banyak bahan baku pangan lokal yang bisa digunakan mensubtitusi bahan impor untuk membuat produk sejenis. Namun kebiasaan penggunaan bahan lokal ini belum jadi tren kuat. Dengan beberapa sebab seperti salah satunya harga yang lebih mahal dibanding bahan impor.
Andriko mencontohkan bahan tepung terigu pada industri mie instan yang kini banyak dikonsumsi pribadi maupun komersil, bisa disubtitusi dengan tepung tapioka, tepung jagung, tepung sorgum hingga tepung sagu yang dibudidayakan petani lokal.
"Sekarang Indonesia mengkonsumsi tepung terigu itu 17 kilogram per kapita per tahun. Artinya setiap orang dari total penduduk Indonesia 280 juta jiwa rata rata dalam setahun makan 17 kilogram makanan berbahan tepung terigu," ujarnya.
"Jadi bahan lokal seperti singkong, ubi jalar, ubi kayu semuanya produksinya kalau dikumpulkan belum bisa mengalahkan konsumsi tepung terigu ini," kata dia.
Menurutnya penggunaan bahan pangan lokal seperti itu perlu dinaikkan pamornya melalui kampanye dan edukasi terus menerus. Jika tidak masyarakat akan terus bergantung ke produk impor yang harganya lebih murah.
Kebergantungan pada bahan pangan impor ini tak sekedar berdampak pada terus naiknya angka impor. Namun juga makin turunnya jumlah profesi petani di Indonesia yang susut 1,3 juta orang pertahun.
Andriko membeberkan selain dilestarikan melalui cara pengolahan tradisional, penggunaan bahan pangan lokal perlu bergeser agar bisa masuk ke industri seperti tepung-tepungan yang pasarnya lebih luas.
"Jadi orang tetap makannya mie, tapi bahan bakunya sudah lokal, pelaku industri kuliner turut berperan mengkampanyekan ini," kata dia.
Andriko mengungkap, kuliner lokal bisa menjadi satu rujukan bagaimana bahan baku lokal tetap banyak peminat.
Ia mencontohkan di Yogyakarta, salah satu makanan legendaris dan populer bernama mie lethek (kotor) menjadi favorit mantan Presiden Amerika Barack Obama. Mie itu tampak kotor karena dibuat
dari tepung singkong dan gaplek (singkong kering). Pengolahannya pun masih sangat tradisional. Karena diaduk menggunakan alat penggiling tradisional bentuk silinder besar yang ditarik oleh sapi.
Mie lethek nan tradisional ini juga berpotensi masuk industri besar layaknya mie instan yang disukai masyarakat namun seluruhnya berbahan pangan lokal.
Andriko menambahkan kemandirian pangan terwujud salah satunya ketika ekonomi sirkular yang mendukung jalannya industri pangan juga berputar. Selain pasarnya tersedia, produk dan bahan bakunya termanfaatkan optimal.
"Jadi duit kita di sini tidak kemana-mana (untuk impor), semua berputar di dalam negeri, itu wujud kemandirian pangan, tak sekedar ketahanan pangan," kata dia.
Penulis buku Daulat Pangan HM. Nasruddin Anshoriy Ch yang akrab disapa Gus Nas menuturkan salah satu edukasi agar penggunaan bahan lokal turut naik trennya dengan perspektif kebudayaan.
Ia mencontohkan, masyarakat bisa diberi literasi sejarah bertema kemandirian pangan di wilayah masing-masing. Agar sadar dan turut dalam gerakan itu.
"Seperti di Yogyakarta, di era awal Kerajaan Mataram Islam atau Sultan Agung yang kemandirian pangannya luar biasa," kata dia.
Kemandirian pangan itu ditunjukkan melalui manuskrip lawas bagaimana ketika di masa silam Kerajaan Mataram Islam menjamu tamu tamunya dari Kerajaan Ottoman.
"Dalam satu hari Mataram Islam bisa memotong 4 ribu kambing untuk jamun makan bersama tamu tamunya dari Kerajaan Ottoman yang peristiwanya lantas disebut dengan Andrawinaloka," kata dia.
Tradisi menjamu tamu dengan santapan daging kambing oleh Kerajaan Mataram Islam 400 tahin silam itu, ujar Gus Nas, saat ditelusuri sejarahnya ternyata berkaitan dengan sejarah kampung Jejeran Kabupaten Bantul. Kampung Jejeran Bantul merupakan pusatnya kuliner olahan daging kambing di Yogyakarta dengan menu favorit Sate Klatak.
Sate Klatak sendiri sejenis sate kambing yang diolah dengan cara dibakar menggunakan besi dan dengan menggunakan bumbu sederhana yakni garam dan kuah kaldu.
Pada jaman dahulu, garam yang dipakai membumbui sate ini berupa garam kasar atau grosok yang ketika terbakar menimbulkan bunyi klatak-klatak.
Post a Comment