Temu Wicara Bertajuk Perempuan dan Politik Digelar di UGM
WARTAJOGJA.ID : Mojok.co bekerjasama dengan Dinas
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP)
dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM menyelenggarakan temu wicara dengan
tema “Perempuan dan Politik: Jejak, Peran, dan Strategi”.
Acara ini sekaligus menjadi launching Kanal Suara Politik Perempuan: Seri Daerah Istimewa Yogyakarta. Kanal
ini adalah program kerjasama antara Mojok dan DP3AP2 DIY melalui Dana
Keistimewaan. Salah satu isinya berupa profil calpn legislatif (caleg)
perempuan yang akan maju untuk DPRD DIY.
Talkshow yang diselenggarakan di
Auditorium Lantai 4 Fisipol UGM pada Kamis (10/8/2023) ini bertujuan untuk
mendiskusikan peran perempuan dalam ranah politik. Terutama, peran mereka dalam
hal memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini masih dipandang sebelah
mata.
Harus diakui, perempuan bisa menjadi
aktor yang mampu menjawab segala tantangan zaman. Misalnya, dalam konteks
budaya, perempuan bisa menjadi pengajar nilai bagi anak-anak mereka. Atau,
dalam ranah lebih luas, yakni politik, perempuan bisa menjadi aktor yang mampu
menjawab berbagai masalah ketimpangan melalui kebijakan yang inklunsif dan
berperspektif gender.
Sayangnya, di balik semua potensi
ini, partisipasi perempuan di ranah politik masih sangat minim. Bahkan,
representasi 30 persen yang ditargetkan pun tak kunjung terpenuhi. Berangkat
permasalahan ini, para pembicara talkshow yang terdiri dari Kepala DP3AP2
Erlina Hidayati S. S.Ip., MM, Sosiolog UGM Fina Itriyati M.A., Ph.D., Ketua
Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Dr. Rer.pol. Mada
Sukmajati, dan jurnalis VICE Indonesia Prima Sulistya, hadir untuk mengulasnya.
Erlina Hidayati, dalam pemaparannya
menjelaskan bagaimana situasi kepemimpinan perempuan di DIY hari ini.
Menurutnya, indeks ketimpangan gender DIY menjadi yang paling rendah jika
dibanding provinsi lain. Namun, representasi perempuan dalam parlemen daerah
masih kecil, yakni 20 persen—jauh di bawah target 30 persen.
Sementara Fina Itriyati memaparkan
bahwa perempuan masih mengalami banyak problem struktural dan kultural, yang
menjadi hambatan mereka untuk terjun ke arena politik. Secara struktural,
masalah ini terjadi dalam tubuh partai politik, yang ia pandang masih begitu
maskulin; dan masalah kultural, sering terjadi di lingkungan masyarakat yang
terkesan diskriminatif terhadap perempuan.
Adapun Prima Sulistya, yang
menjelaskan bagaimana politik uang atau money
politic menjadi masalah utama yang mengganjal langkah perempuan untuk
terjun ke politik elektoral. Menurut Prima, dana yang harus dikeluarkan seorang
politisi untuk mentas ke pemilu tidaklah kecil. Sementara perempuan sendiri
berada dalam situasi ketimpangan ekonomi ataupun yang ia sebut “KDRT
finansial”, yang tentu menjadi hambatan besar bagi mereka yang ingin terjun ke
politik.
Sedangkan Mada Sukmajati, yang jadi
pembicara terakhir, menyebut bahwa secara regulasi, Indonesia sudah lebih
progresif ketimbang negara lain dalam hal menyusun aturan terkait affirmative
action representasi 30 persen perempuan di politik. Akan tetapi, kata Mada,
regulasi dan implementasi adalah dua hal yang tak selalu beriringan.
Diskusi sendiri berjalan interaktif dengan beberapa peserta mengajukan pertanyaan dan dijawab oleh pembicara. Acara kemudian ditutup dengan beberapa kesimpulan, di antaranya 1) pentingnya untuk mengimplementasikan kebijakan affirmative action secara optimal, 2) pentingnya untuk meningkatkan kuantitas sekaligus upgrade kualitas perempuan dalam partisipasinya di politik, dan 3) pentingnya kanal seperti Suara Politik Perempuan dalam menjadi medium untuk meningkatkan partisipasi perempuan ke politik. (Cak/Rls)
Post a Comment