Berperan Penting Dalam Rantai Sirkular Ekonomi Persampahan, Pemulung Yogyakarta Perlu Diberdayakan
WARTAJOGJA.ID– Di Tepi Kali Code, tepatnya di lapak rosok Ibu Sapari nampak
wanita paruh baya yang mengangkati karung berisi botol PET, membersihkan serta
menyortir botol untuk diangkut ke mobil pick up. Lapak pengepul ini berukuran
tidak terlalu besar, terselip diantara deretan rumah perkampungan yang
menghadap sungai. Sampah yang dikumpulkan pemulung dan terkumpul di lapak
pengepul tersebut kemudian di setorkan ke Collection Center yang lebih
besar di Bantul dan dikirim ke industri daur ulang.
Wahyuni,
45 tahun adalah salah satu pekerja wanita di lapak rosok ini kemudian bercerita
tentang aktifitasnya. Dia telah bekerja menjadi pemulung selama 12 tahun. Dulu
dia mengumpulkan sampah plastik dari rumah ke rumah dan menjualnya ke pelapak
atau pengepul. Sekarang tugasnya membantu Bu Sapari, pemilik lapak pengepul
untuk menyortir dan menimbang sampah terpilah. Dulu dia mengambil barang
rongsokan jenis apapun yang bisa dijual kembali seperti kardus, besi dan
lain-lain. Sekarang lebih mengutamakan sampah kemasan berupa Botol PET karena
lebih bernilai, juga jelas penanganan dan pengelolaannya.
Wahyuni
adalah salah satu potret pemulung di Yogyakarta yang menjadi bagian kecil dari
rantai pengelolaan sampah di perkotaan Yogyakarta, Bantul dan Sleman.
Aktifitasnya berkontribusi pada pengurangan beban Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Piyungan yang saat ini ditutup. Selain pemilahan sampah dari rumah yang kini
digalakkan. Pemulung membantu menyerap sampah bernilai di perkotaan untuk
diperpanjang masa hidupnya dengan di daur ulang menjadi kemasan plastik
kembali.
Dalam
kesehariannya Wahyuni bekerja menggunakan APD (Alat Pelindung Diri),
pengetahuannya tentang penanganan dan jenis sampah plastik juga selalu
terupdate. Dia juga sudah mampu mengelola penghasilan dan merencanakan keuangan
dengan menabung.
“Saya
merasakan sekali manfaat menabung, pertama kali saya gunakan tabungan adalah saat
harus membeli seragam dan biaya sekolah anak waktu masuk STM. Sekarang anak
saya sudah kelas 3, saya menabung lagi untuk persiapan biaya kelulusan dan
ijazahnya”, jelas Wahyuni.
Pemulung
seperti Wahyuni juga sudah mendapatkan akses menabung dari Perum Pegadaian.
Pegadaian jemput bola datang ke lapak untuk melayani pemulung yang hendak
menabung. “Orang seperti kami susah untuk bisa masuk ke kantor Bank dan
menabung. Untungnya dengan fasilitasi Danone AQUA, Pegadaian bisa bantu kami,
dan lagi, di Sabtu mereka tidak libur, jadi kami masih bisa ambil uang”, tambah
Wahyuni.
Di
Yogyakarta, sejak 2020 Danone AQUA telah mendampingi dua TPS3R (Tempat
Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle) di Panggungharjo dan
Minomartani juga satu Collection Center melalui program Inclusive Recycling
Indonesia (IRI). Program ini bertujuan untuk menciptakan siklus hidup kedua
dari sampah botol plastik. Botol plastik dikumpulkan dari tiga sumber yaitu:
pusat penyortiran kota (TPS3R), pusat pengumpulan (pengepul) dan intersepsi
sungai. Harapannya, selain mengurangi beban TPA, pengumpulan botol PET juga
akan meningkat untuk bisa diolah kembali menjadi campuran pembuatan botol baru.
Rantai proses tersebut kemudian juga diharapkan bisa memberikan manfaat kepada
semua elemennya dan terwujud sirkular ekonomi.
Danone
AQUA menggandeng YPCII (Yayasan Pembangunan Citra Insan Indonesia) sebagai
mitra pelaksana dalam program IRI. “Melalui Collection Center yang ada, Selain
pelatihan tentang pengetahuan pemilahan sampah dan keselamatan kerja, kami
memberikan edukasi terhadap 300 pemulung. Mereka mendapatkan financial
literacy atau pengetahuan
pengelolaan keuangan. Pemulung didorong untuk menabung, akses kepada lembaga
keuangan dibuka supaya mereka bisa merencanakan
keuangan dengan lebih baik”, jelas dr. Lydia sebagai project manager dari
YPCII.
“Kami
percaya bahwa pemulung memiliki peran penting dalam pengelolaan sampah di
Indonesia. Dengan bantuan dari Danone Indonesia melalui IRI, kami sebagai pelaksana
di lapangan juga berharap pemulung dapat meningkatkan kesejahteraannya dan
dapat berkontribusi lebih banyak untuk pengelolaan sampah khususnya di
Yogyakarta”, tambah dr. Lydia.
Sektor informal seperti yang dilakoni
Wahyuni, adalah bagian dari rantai sirkular ekonomi yang mampu menghidupi
sekaligus secara paralel mengurangi beban lingkungan di perkotaan. Pemahaman
bersama akan persampahan dan penghargaan pada sektor informal perlu menjadi
perhatian semua pihak. “Cukup saya yang memulung, dari
memulung ini saya berharap anak saya bisa sekolah tinggi dan menjadi orang yang
sukses”, tutup Wahyuni. (Cak/Rls)
Post a Comment