Gelar Digitalk #57, CFDS UGM Soroti Literasi Financial
WARTAJOGJA.ID - Banyaknya pengguna smartphone dan maraknya pinjaman online menggugah Center for Digital Society (CfDS) UGM untuk menggelar diskusi publik yang terangkum dalam Digitalk #57 "Strategi Cerdas Berinvestasi: Memahami Risiko dan Peluang Bisnis dalam Peer-to-Peer Lending di Indonesia.
Dalam diskusi yang berlangsung di Gedung BB FISIPOL UGM pada Kamis, 13 Juli 2023, CfDS menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Fintech ALAMI Sharia juga menghadirkan narasumber yang turut meramaikan diskusi.
Di antaranya: Kusdhianto Setiawan, Sivilokonom, Ph.D (Dosen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM), Anissa Ika Rahmawati (Pengawas Direktorat Pengawasan Fintech OJK), Harza Sandityo (Direktur Utama ALAMI Fintek Sharia) dan Keynote Speech oleh Tris Yulianta (Direktur Pengawasan Fintech OJK).
Kegiatan ini diselenggarakan untuk merespon perlunya pemahaman yang komprehensif mengenai keuangan digital termasuk risiko dan peluang bagi masyarakat, agar masyarakat memiliki pengetahuan dan wawasan yang dapat melindungi investasi, mengoptimalkan potensi keuntungan, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan membuat keputusan yang lebih baik.
Dekan FISIPOL UGM, Dr. Wawan Mas'udi, SI.P., MPA di dalam sambutannya menjelaskan ketika informasi bekembang secara dramatis karena teknologi, ada satu elemen yang perlu kita kembangkan yaitu digital literasi.
"Forum kita saat ini bekerjasama dengan OJK dan Financial Teknologi Fintech bersama-sama untuk membangun literasi tentang keuangan yang berhubungan dengan aspek“ aspek teknologi," tutur Wawan.
Direktur Pengawasan Fintech OJK, Tris Yulianta menjelaskan Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang melalui literasi keuangan sangat memadai, karena memenuhi hasil survey tahun 2022 berada di angka 54.55% tingkat literasinya. Namun ternyata angka tersebut menurun dibanding tahun 2018.
"Perkembangan Fintech peer-to- peer (P2P) lending di Indonesia mendapat sambutan yang luar biasa di masyarakat. Dalam kurun waktu 6 tahun sudah menyalurkan lebih dari 600 trilliun lebih. Namun sayangnya perkembangan Fintech P2P lending dibarengi dengan maraknya Fintech-fintech illegal. Maraknya Pinjol di masyakarat, membuat kami hadir untuk memperbaiki tapi karena literasi masyarakat kita kurang tinggi sehingga kadang-kadang banyak yang tertipu," jelasnya.
Tris menegaskankan,"Perlu diketahui Fintech peer-to-peer lending hanya boleh akses yang namanya 'Camilan' yaitu Camera, Microphone, Location. Jadi kalau ada aplikasi apapun yang minta akses lebih dari itu bisa dipastikan itu illegal, dan bisa dilaporkan ke OJK, karena nanti yang sering diakses Fintech illegal tersebut adalah kontak dan galeri foto" tegasnya.
"Saat ini hanya terdapat 100 penyelenggara Fintech p2p landing yang berijin di OJK, sementara hingga tahun 2023 kami sudah menutup 584 pinjol illegal, jadi yang resmi sama yang illegal banyak yang illegal," imbuhnya.
Gambaran lanskap model bisnis financial technology (fintech) di Indonesia, dipaparkan oleh Kusdhianto Setiawan, Siviløkonom., Ph.D, yang menjelaskan bagaimana model bisnis peer-to-peer (P2P) lending mulai tumbuh dan diminati oleh masyarakat Indonesia.
"Sasaran dari fintek adalah masyarakat yang melek digital. P2P menjadi solusi bagi mereka yang unbankable, namun bukan solusi yang murah. Perlu diketahui berapa jumlah biaya yang akan ditanggung kepada pengguna. Di sini masih ada banyak sekali hal yang dapat dikembangkan oleh para pemain dan industri fintek, baik dari segi teknologi yang digunakan, maupun finansial literasi yang dihadirkan harus dapat kita tingkatkan," ujar Kusdhianto.
Di sisi lain, Annisa Ika Rahmawati menyampaikan fintech P2P lending memiliki karakteristik unik dengan sifatnya sebagai kerangka. Fintech dapat menawarkan solusi kemudahan bagi masyarakat dan mahasiswa untuk belajar investasi.
OJK menekankan perlunya pengawasan dan regulasi terkait aktivitas fintech di Indonesia untuk menjamin keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.
Peran OJK sebagai regulator sangatlah diperlukan untuk dapat menghindarkan masyarakat dari segala bentuk potensi kejahatan dan kerugian saat bertransaksi maupun berinvestasi melalui platform P2P Lending.
Diskusi publik yang berlangsung selama kurang lebih 3 jam ini diikuti oleh ratusan mahasiswa, siswa SMA dan masyarakat umum. Diharapkan dengan adanya kegiatan bisa menambah wawasan masyarakat tentang pentingnya literasi financial agar tidak terjebak dalam Fintech illegal.
Center for Digital Society (CfDS) sendiri adalah pusat studi yang berada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. CfDS berfokus pada studi tentang masyarakat digital, termasuk bisnis digital dan gaya hidup. Melalui berbagai penelitian dan acara diskusi publik, CfDS menyediakan sarana edukasi kepada masyarakat mengenai dampak dari teknologi dalam berbagai aspek kehidupan.
Pemahaman yang komprehensif mengenai keuangan digital termasuk risiko dan peluang bisnis P2P Lending di Indonesia memiliki peran penting tersendiri bagi masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat melindungi investasi, mengoptimalkan potensi keuntungan, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan membuat keputusan keuangan yang lebih bijak. Dengan pemahaman ini, masyarakat dapat berpartisipasi dalam P2P Lending dengan keyakinan dan pengetahuan yang lebih baik. (Cak/Rls)
Post a Comment