Dramatic Reading Menyambut Sang Nyai Digelar di Watulumbung Bantul
WARTAJOGJA.ID : Perhelatan Dramatic Reading yang berjudul 'Menyapa Sang Nyai', karya Budi Sardjono yang digelar di Watulumbung, Kapanewon Kretek, Kabupaten Bantul, Kamis (27/7) malam.
Perhelatan yang digelar Boy Rifai, pemilik Caffe Watulumbung tersebut, juga diramaikan dengan pembacaan puisi yang disampaikan oleh Teguh Mahendra, seniman asal Yogyakarta yang kini menetap di Magelang.
Hadir juga Gus Nas, Pengasuh Pondok Pesantren Ilmu Giri, Pleret, Kabupaten Bantul. Bahkan ia menyampaikan, bahwa perhelatan ini sangat tepat baik tempat maupun waktunya.
Ditinjau dari tempat, pergelaran ini digelar di perbukitan yang nota bone masih berada di kawasan pantai selatan dan tidak jauh dari Parangkusumo, sedang waktunya dilaksanakan pas pada malam Jumat Kliwon di bulan Suro.
Acara ini menjadi menarik, karena dilaksanakan pas pada malam Jumat Kliwon bulan Suro. Apalagi digelar di bukit Watulumbung yang ada di sebelah Utara Pantai Parangkusumo.
Kebetulan pada malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon, Puri Cemeti di Parangkusumo (tempat pertemuan) Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul sampai sekarang masih sering dipenuhi orang yang sedang 'laku' atau 'tirakat'.
Sehingga Dramatic Reading Menyapa Sang Nyai yang disampaikan Budi Sardjono (Narator 1), Seteng Sadja (Narator 2), dan Astri Aldo (Perempuan 1) serta Lisa Sulistyowati (Perempuan2), menurut Boy Rifai, menjadi semakin sakral.
Bau wangi bunga mawar dan bunga melati yang tertiup angin malam menambah suasana tersebut, makin 'nglangut' walau kadang ada suara indah dan merdu dari balik naskah 'Menyambut Sang Nyai' yang dibacakan oleh empat orang pemain tersebut.
Penonton yang kebanyakan seniman dan budayawan, sampai kagum dibuatnya. Karena keempat aktor tersebut, mampu menghayati naskah Menyambut Sang Nyai dengan penuh perasaan.
Sehingga penonton yang melihat dan mendengarkan dialog mereka, secara tidak sadar lamunan mereka terbawa pada halusinasi dialog Sang Nyai dengan Ratu Kidul dan Panembahan Senopati.
Dimana dialog dalam naskah itu, cukup menarik dan apik. Karena Budsar (Budi Sardjono) selaku penulis cerita tidak sekedar menceritakan tentang keindahan maupun misteri pantai selatan.
Tapi Budsar mencoba menceritakan tentang mistis masa lalu, sampai dengan realita yang ada sekarang ini. Dimana dunia semakin canggih dan berkembang maju.
Bahkan disini Budsar juga mencoba memperingatkan para pengunjung pantai selatan, hendaknya jangan bermain air ditepi pantai. Apalagi sampai mandi di laut selatan, karena disana banyak 'Palung' atau pusaran air.
Peringatan itu juga disampaikan dalam dialog Menyambut Sang Nyai. ''Baik di dalam ingatan, juga di dalam jejak-jejak langkah di jejak digital. Ingat, ingat, di sana ada palung-palung laut yang mematikan,'' demikian pesan Budsar dalam pesannya yang disisipkan dalam naskah itu.
''Siapa tersedot di dalamnya, tidak mungkin ia bisa keluar lagi hidup-hidup. Dan dia akan masuk dan jadi bagian dalam mitos dan legenda yang menancap di hati masyarakat yang percaya,'' lanjut Budsar dalam pesannya.
Dari adegan tersebut, ada dialog yang cukup menarik. Yaitu, ketika perempuan dua dengan nada tidak tau menanyakan apakah benar suamimu empat?
Seketika itu, perempuan satu, dengan nada sinis menjawab. ''Suaramu kempreng mirip Kang Petruk. Sinismu juga sama. Apa kamu tidak rela jika suamiku ada empat?.
Pertanyaan itu muncul karena semua penguasa Mataram, adalah Kanjeng Panembahan. Padahal, sejak tahun 1755 saat perjanjian Giyanti suamimu dua, yaitu Kanjeng Sultan dan Kanjeng Sunan.
Kemudian suamimu menjadi tiga ketika tahun 1758 Perjanjian Salatiga, Mataram pecah jadi tiga dengan munculnya Kadipaten Mangkunegaran dan suami keempatmu pada tahun 1813 ketika Kadipaten Pakualaman berdiri.
Namun pertanyaan itu, pelan-pelan hilang ditelan angin malam. Penonton pun tidak begitu menghiraukan, meski disana hingga kini tersimpan pertanyaan tersebut.
Post a Comment