Sempat Menghilang Akibat Dilarang, Grup Angklung Jalanan Mulai Tampil Lagi di Malioboro
WARTAJOGJA.ID: Di tengah wacana pelarangan, sebuah grup angklung jalanan memulai pentas di Malioboro, Jumat (14/04/2023) malam.
Mereka tampik enerjik di pedestrian sisi timur, tepatnya di depan toko Batik Terangbulan tak jauh dari Kompleks Kepatihan.
Terdapat dua penari perempuan mengenakan pakaian adat Jawa memimpin di depan. Selain angklung salah satu personil juga memainkan bonang, elemen dalam perangkat gamelan Jawa.
Lagu-lagu yang dimainkan sukses menyedot perhatian wisatawan. Dibawakan dengan irama dangdut, seperti 'Klebus' hingga 'Ojo Dibandingke'.
Penampilan komunitas angklung jalanan ini menjadi yang pertama kali setelah beberapa waktu dilarang oleh pengampu kebijakan Kota Yogyakarta.
Pasalnya, angklung jalanan masuk dalam PKL serta turunannya yang masuk dalam program penataan kawasan khusus pedestrian Malioboro dan Margo Mulyo sehingga keberadaannya dilarang.
Pentas perdana itu sempat mendapatkan pelarangan pula oleh petugas yang berjaga. Namun, beberapa elemen yang mendampingi dari Forum Keberagaman Budaya Yogyakarta (FKBY) tetap berkukuh bahwa komunitas angklung bisa tampil di pedestrian seperti biasa.
Penampilan angklung itu turut dikawal sejumlah pegiat seni dan budaya. Seperti
Timothy Aprianto (Forum Komunikasi Masyarakat Yogyakarta), Risang yuwono ( Tobong Institute), Arya Prahasta ( Asosiasi Musisi & pencipta dan pelaku hiburan) dan Sarwanto Swarso (insan media).
Timothy Aprianto dari Forum Komunikasi Masyarakat Yogyakarta sempat terlibat adu arugumen dengan petugas, juga Kepala UPT Cagar Budaya Yogyakarta, Ekwanto melalui sambungan telpon.
"Pentas Jumat 14 April ini adalah simbol perlawanan budaya. Goalnya adalah tegaknya kedaulatan kebudayaan di Malioboro. Ini hajat hidup angklung jalanan, jadi akan tetap tampil setiap malam. Ditata boleh tapi tidak boleh dilarang," ungkap Timotius pada wartawan.
Risang Yuwono, dari Tobong Institute mengatakan bahwa ekspresi dan apresiasi tidak dapat diganggu gugat sehingga harus tetap hidup di Malioboro. Pihaknya melihat proses pemajuan kebudayaan sangat jauh dari bentuk partisipatori masyarakat untuk menjaga Malioboro sebagai jantung kebudayaan Kota Yogyakarta.
"Pelarangan angklung yang menggunakan diksi harus berbudaya Jogja, menjadi kedangkalan pernyataan pejabat publik. Proses pembuatan kebijaan itu kami lihat ada maladministrasi. Dewan Kebudayaan Kota hampir tak tahu proses pelaksanaannya. Penekanan penggunaan alat musik yang disebut Jawa seperti Bonang dan apapun itu, terdapat pemaksaan artistik dan nilai kebudayaan. Kalau kesenian saja sudah diintervensi, itu satu kengerian bagi kami seniman," ungkapnya.
Risang meminta pemerintah untuk menghentikan proses kurasi seni yang dilakukan oleh UPT Cagar Budaya Yogyakarta saat ini. Pasalnya menurut dia, kurasi dilakukan sepihak serta mengesampingkan seni budaya sebagai nafas.
"Jangan meletakkan mereka menjadi objek pembangunan, ini bukan bangunan yang selesai dengan perijinan. Hentikan proses kurasi seni yang dilakukan sepihak oleh UPT. Harus ada kajian, panggil semua stakeholder. Pengamen jangan diasosiasikan sebagai PKL dan turunannya. Kegiatan mengamen adalah ekspresi dan apresiasi, bukan ekonomi jual dan beli," katanya. (Cak/Rls)
Post a Comment