Yogyakarta Komik Weeks 2022 Sajikan Karya Unik Puluhan Seniman Di JNM
WARTAJOGJA.ID : Yogyakarta Komik Weeks 2022 kembali hadir dan diselenggarakan selama 9 hari, dari 27 Oktober – 5 November 2022 di Jogja National Museum.
Yogyakarta Komik Weeks dapat dikunjungi secara gratis dan sebanyak 30 seniman dan 30 pemenang Kukuruyug 8 akan memamerkan karya mereka selama 9 hari.
Acara yang digelar Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan pelaksana Mulyakarya Seniman Kolektif itu bertujuan memacu semangat dan kreatifitas anak muda untuk percaya diri dan peka terhadap lingkungan.
Pameran ini juga untuk meningkatkan minat baca dan budaya literasi anak muda.
Harapannya kemudian komik bisa menjadi salah satu media anak muda berekspresi dalam merespon dan menyampaikan gagasannya, dengan bahasa tutur gambar yang mudah dipahami dan efektif dalam penyampaiannya.
Pameran yang dikuratori Terra Bajraghosa dan Danang Catur ini menarasikan “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”, seperti slogan yang digunakan dalam perayaan kemerdekaan RI yang ke-77, 17 Agustus 2022.
"Soal pulih dan bangkit inilah yang mengawali perbincangan persiapan Yogyakarta Komik Weeks dan Workshop & Lomba Seni Komik
Kukuruyug, jauh sebelum slogan resmi pemerintah tersebut kami dengar," ujar kuratorial itu.
Setelah masa pandemi, lalu new normal – beserta varian ‘new’ dan ‘normal’ yang beragam-, endemi, dan belum tahu esok akan ada apa lagi, semuanya terasa cepat berganti dalam kurleb 2,5 tahun belakangan ini.
Secepat apa pun perubahan yang harus dihadapi, nyatanya menunjukkan transisi-transisi yang membutuhkan suatu tindakan, atau aksi: melakukan sesuatu demi tujuan tertentu.
Misalnya dari awalnya sekadar bertahan hidup, lalu menjaga tubuh tetap sehat, hingga melakukan kerja sosial untuk membantu yang terdampak, atau bahkan merespon masa pandemi menjadi suatu karya seni.
Medium komik yang terus hadir pada masa-masa tersebut di Indonesia, entah bertema cerita apa pun, terkait atau tidak, bisa dilihat sebagai sebuah hasil dari tindakan untuk terus bertahan dan bangkit.
Perubahan-perubahan kondisi yang terjadi secara mendadak ataupun bertahap, dihadapi oleh seniman-seniman komik melalui karyanya. Dengan beragam alasan dan tujuan.
Misalnya saja; Berada di dalam rumah terus: membuat waktu lebih untuk berkarya dan melakukan eksplorasi. Suasana ngelangut karena banyak yang berduka: menyadarkan komikus untuk saling berjejaring menguatkan diri melalui karya-karya untuk meredam lara dan memberi motivasi.
Cara pemerintah menangani pasien: menginspirasi komik yang bernada kritis; Ketika ada politisi mencuri start kampanye di masa susah: melahirkan komik instagram yang satir. Dan lain sebagainya.
Pameran Yogyakarta Komik Weeks 2022 mencoba melihat bahwa kondisi yang dihadapi tersebut adalah kondisi transisi, yang memerlukan suatu aksi dalam menjalani dan memaknainya.
Transisi memiliki arti: “proses atau satu periode perubahan dari satu keadaan ke keadaan, atau kondisi ke kondisi, yang lainnya”. Dalam konteks situasi pasca-pandemi yang sekarang, transisi dialami secara sosial, terjadi pada semua lapisan masyarakat hampir di semua negara.
Namun transisi juga dialami oleh individu-individu dalam periode kehidupannya. Kenyataannya transisi akan terus dihadapi oleh siapapun, di manapun, termasuk seniman komik dalam wujud maupun praktik sosial karyanya.
Banyak orang mengenal dan mengingat komik karena adegan-adegan aksinya, misalnya kisah superhero, dan silat.
Karena sifat ruang komik yang terbatas, penggambaran potongan aksi demi aksi dalam tiap panel komik menjadi penting untuk menjalin cerita. Bukan hanya adegan aksi, media komik sendiri identik dengan transisi secara berurutan, atau sekuensial. Pergantian atau perubahan pada satu panel ke panel berikutnya menentukan jalannya cerita suatu komik.
Ellen Wiese (1965) mencatat bahwa komposisi ilustrasi yang dilakukan oleh Rodolphe Topffer dari tahun 1827-1844, yang memadukan deretan panel, kolaborasi kata-kata dan gambar-gambar, telah bertransisi dari ilustrasi berupa deretan gambarnya William Hogarth.
Tindakan kreatif yang dilakukan tersebut menjadikan Topferr disebut sebagai “penemu (perangkat-perangkat) komik (mula-mula)” dan menandai periode masa hadirnya medium komik.
Aksinya dalam menghadirkan bentuk karya seni yang mencampur teks & gambar tersebut dilakukan secara sadar oleh Topffer. Ia melihat dalam karyanya bahwa gambar tanpa teks hanya menampilkan makna yang kurang jelas, dan teks tanpa gambar hampir-hampir tidak akan memiliki makna. Begitu pula dengan komposisi panel berurutan yang memperoleh maknanya, yang hanya bisa dipahami, melalui apa yang hadir pada panel sebelumnya dan panel yang mengikuti setelahnya.
Bentuk awal karya komik yang disebut oleh Topffer sebagai la litterature en estampes (cerita-gambar) tersebut pun bertransisi, berevolusi.
Dari masa ke masa, media ke media, menyesuaikan kebutuhan berceritanya dan teknologi yang mendukungnya. Perangkat-perangkat bercerita komik yang sama (panel, teks, gambar, lalu balon kata, onomatope, dan simbol-simbol lain) ketika digunakan dengan ragam penataan dan dikembangkan sedemikian rupa, nyatanya mampu menjadi penanda bagi periode masa yang berbeda-beda.
Komik strip, majalah komik, cergam, album komik, manga, gekiga, novel grafis, hingga sekarang web komik, adalah sebagian saja yang lazim dikenal untuk menyebut definisi aneka format cerita-gambar. (Cak/Rls)
Post a Comment