Ketahui, Sebatang Rokok Sumbang Rp 800 Bagi Negara
WARTAJOGJA.ID: Siapa sangka ternyata perokok di Indonesia, merupakan penyumbang terbesar kepada negara. Karena setiap batang rokok, menyumbang negara sebesar Rp 800.
Ini baru sebatang, kalau satu bungkus tentu penerimaan negara dari perokok cukup besar. Sumbngan itu dari pajak dan cukai Cukai yang masuk APBN total ada sekitar Rp 180 triliun.
Namun kenyataannya dalam penyusunan regulasi perokok didiskriminasi. Hal itu terungkap dalam diskusi kritis media di Puri Mataram, Kabupaten Sleman, Senin, 8 Agustus 2022
Diskusi yang dihadiri narasumber Triyanto dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DIY, Waljid Budi Lestarianto dari Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (PD FSP RTMM) DIY.
Kemudian Budi Sanyoto, anggota DPRD Sleman, Andi Kartala selaku Ketua Pakta Konsumen serta Andri Lesmono, seorang pengusaha yang pernah bekerja di industri rokok.
Menurut Andi Kartala, sumbangan kepada negara Rp 800 per batang itu berupa pajak dan cukai. ''Padahal cukai yang masuk APBN total Rp 180 triliun, namun dalam penyusunan regulasi, perokok didiskriminasi,” ujar Andi Kartala.
Namun kenyataannya, lanjut dia, perokok diposisikan sebagai orang nomor dua kalau tidak boleh dibilang sama sekali tidak dilihat. Inilah yang membuat perokok, merasa ditinggalkan.
“Sebenarnya kami mau diatur, tetapi aturannya harus berkeadilan. Kita punya hak ikut menyusun regulasi, sehingga Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok) ada aspirasi dari konsumen rokok. Sebisa mungkin libatkan kami terkait dengan regulasi rokok,” katanya.
Diskusi ini sekaligus untuk menyikapi rencana pemerintah menaikkan tarif cukai pada 2023, maupun dorongan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, sebagai turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
Sebagai gambaran, Indonesia merupakan negara nomor tiga di dunia dengan jumlah perokok terbanyak, sekitar 69,1 juta orang.
Artinya, industri rokok prospeksnya sangat bagus. Tercatat produksi rokok di Indonesia pada tahun 2020 sejumlah 320,8 miliar batang.
Begitu harga rokok naik akibat kenaikan cukai, peredaran rokok ilegal juga naik sehingga menghilangkan pendapatan negara sebesar lebih kurang Rp 53 triliun.
Waljid Budi Lestarianto menambahkan, akibat kenaikan cukai membuat industri menurunkan jumlah produksinya. Dampaknya, lanjut dia, dirasakan langsung petani dan buruh pekerja pabrik rokok.
Selama sepuluh tahun di Yogyakarta, terdapat 4.000 karyawan pabrik rokok yang kehilangan pekerjaan. Masalah lain, keberadaan Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok) yang ternyata tidak hanya membuat resah, tetapi juga membatasi gerak industri rokok, salah satunay tidak bisa beriklan.
Dia khawatir rencana revisi PP 109 Tahun 2012, akan membuat industri rokok semakin terjepit. Banyak pekerja kehilangan sawah-ladang mereka.
Jika pemerintah tetap merencanakan revisi PP tersebut, menurut Triyanto petani tembakau bakal kehilangan semangat untuk menanam tembakau karena harga dan permintaan akan daun tembakau bakal turun.
Mestinya pemerintah mendengarkan suara hati nurani petani tembakau. Sebab di Yogyakarta saja terdapat 15 ribu petani tembakau yang bakal kena dampaknya.
Sebab setiap kali terjadi kenaikan cukai yang paling terdampak adalah petani dan pekerja pabrik rokok. Ironisnya, kata dia, tidak ada subsidi kepada petani tembakau padahal mereka sudah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi negara.
Sementara Budi Sanyoto sambil bercanda menambahkan, nasib petani tembakau ibarat syair lagu hanya memberi tak harap kembali, katanya sambil bercanda.
Dari lima kabupaten/kota se-DIY hanya Sleman yang tidak memiliki Perda KTR perda tersebut, dinilai oleh banyak kalangan tidak adil dan diskriminatif.
Rokok adalah barang legal. Dia menyebutkan, rokok merupaakn produk yang terbilang istimewa. Alasan dia, hanya produk rokok yang dijelek-jelekkan tetapi cukainya tetap diharapkan oleh negara. ''Lho rak iya to..,'' katanya.
Sedangkan Supono, perwakilan pekerja pabrik rokok menyampaikan, kecemasannya apabila tarif cukai naik lagi maka terjadi pengurangan tenaga kerja.
Hal itu berdampak pada dirinya maupun rekan-rekannya yang selama ini nasibnya digantungkan kepada perusahaan rokok.
''Kalau benar cukai rokok bakal naik, kami bisa kena dampaknya,'' katanya.
Sedangkan Andri Lesmono yang pernah bekerja pada pabrik rokok terkenal di Jawa Timur kurun waktu 2002-2009 menyatakan, Perda KTR merupakan amanat dari UU Kesehatan dengan turunannya berupa PP Nomor 109 Tahun 2012. Mestinya, kata dia, regulasi itu harus dikaji secara lebih mendalam lagi.
Dia mengerti bagaimana ribetnya pabrik rokok ketika harus membayar cukai. Mengingat harga jual produk rokok ditentukan oleh pemerintah, maka tidak salah pabrik rokok ada yang menyebutnya sebagai BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dalam tanda kutip.
Andri menegaskan, mestinya PP 109 Tahun 2012 cantolannya bukan pada UU Kesehatan. Selama PP tersebut tetap merujuk pada UU Kesehatan, maka akan terjadi terus kondisi seperti sekarang ini.
Oleh karena itu, perlu disepakati bersama jangan menggunakan UU Kesehatan, tapi memakai UU tentang industri. Selama ini, tidak dirubah pasti akan terus tecipta kondisi yang seperti ini. (Cak/Rls)
Post a Comment