Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Didorong Bantu Kesejahteraan Pekerja Industri Rokok
WARTAJOGJA.ID : Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 206/PMK 07/2020 tentang Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau mestinya membantu kesejahteraan pekerja sektor ini.
Masalahnya, PHK harus memenuhi hak pekerja. Di lapangan ada banyak perusahaan tidak memenuhi aturan PHK.
Dari laporan yang masuk ke PP SP RTMM, di Malang Jawa Timur industri rokok ngos-ngosan pekerja terkesan dibiarkan. Mereka dirumahkan tanpa uang tunggu.
Statusnya masih bekerja tetapi tidak memperoleh penghasilan. BPJS pun tidak terbayar. Begitu pula di daerah lain seperti Kudus Jawa Tengah rata-rata pekerja rokok SD saja tidak tamat.
“Kalau di-PHK mau diapakan ini. DBHCHT bikin ketar-ketir pekerja rokok,” ucap Andreas Hua,Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM saat Diskusi Advokasi Industri Hasil Tembakau (IHT) bertema Menilik Kebijakan Cukai Hasil Tembakau dan DBHCHT Tahun 2022, Sabtu (22/1/2022), di Taru Martani Coffee & Resto Yogyakarta.
Andreas membeberkan bagi pekerja, dana itu baru bisa diterima saat mereka pensiun. Di Malang dan Semarang rata-rata pekerja rokok sudah 30 tahun bekerja tetapi usia mereka masih di bawah 50 tahun karena sudah bekerja sejak usia belasan tahun.
Yang aneh lagi, lanjut Andreas, rokok diperangi sebagai sumber penyakit tetapi DBHCHT digunakan untuk mendanai sektor kesehatan. Pekerja yang menghasilkan duit terancam.
Akhirnya masalah yang sudah diperjuangkan sejak lama itu berhasil diakomodasi melalui PMK 206/2020.
Ada alokasi dana tersebut untuk kesejahteraan pekerja pabrik rokok dan petani tembakau.
Lagi-lagi, lanjut dia, faktanya tidak semua pekerja rokok menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai). Ini terjadi karena BLT dari hasil cukai disamakan dengan BLT Dinas Sosial dengan dasar DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial).
Selain itu, juga terlihat ada semacam “rekayasa” terhadap Permendagri No 64/2020 serta SE KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Karena terganjal regulasi dan penerima harus masuk DTKS, di DIY juga ada pekerja rokok yang tidak dapat BLT. Di daerah lain memperoleh BLT namun jumlahnya sedikit.
Menurut Andreas, dari laporan yang masuk ke PP FSP RTMM, di Kudus Jawa Tengah DBHCHT Rp 155 miliar yang dibagikan ke pekerja Rp 600 ribu per orang untuk 63 ribu pekerja. Yang lain ke mana dia kurang mengerti.
Contoh berikutnya, di Karawang, DBHCHT digunakan untuk mendirikan rumah sakit (RS) paru-paru. Namun pekerja rokok dan petani tembakau tidak dapat prioritas mengakses layanan tersebut. “Saya berharap tidak terjadi Permendagri yang bikin bingung, itu aturan apa meneh. Ada lagi SE KPK,” kata dia.
Diperoleh informasi, lanjut dia, ternyata SE KPK itu sebagai wanti-wanti karena ada indikasi BLT tidak tepat sasaran. “DIY per orang dapat BLT Rp 1 juta lebih dari dana Rp 16 miliar. Kudus dananya Rp 54 miliar dapat Rp 600 ribu. Kota Semarang dari dana Rp 18 miliar per pekerja dapat Rp 2 juta,” jelasnya.
Ke depan dia berharap Pemda memperhatikan pekerja rokok. “Jangan khawatir jika untuk pekerja, asal sesuai ketentuan dan tidak neka neka. Serikat pekerja oke-oke saja,” tandasnya.
Andreas sepakat dana bagi hasil digunakan untuk pelatihan menjahit atau potong rambut tetapi harus tepat sasaran. Lucu jadinya setelah pelatihan mereka tidak diberikan alat.
“Saya berharap bukan cuma pekerja tapi perhatikan juga keluarga pekerja. Kami ini WNI punya hak hidup layak. Resesi dunia kayak apa, industri kretek tak terpengaruh karena semua bahannya lokal ada di sini. Ini agak kasar, sekali lagi karena bahasa pekerja memang kayak gini,” tandasnya.
Bimo Adisaputro dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Yogyakarta (KPPBC) DIY serta Ketua Umum Aliansi Masyarakat Pertembakauan Indonesia (AMTI), Budidoyo.
Bimo mengakui target penerimaan cukai rokok yang dipatok Rp 193 triliun membawa konsekuensi, rokok ilegal cenderung naik. Dia juga mengupas data dan fakta tentang rokok. Jumlah perokok anak naik pada 2017 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen tahun 2018.
Soal konsumsi masyarakat, rokok menempati urutan kedua setelah beras.
Dia juga mengakui cukai rokok bagi penerimaan negara nilainya sangat siginifikan, yaitu memberikan sumbangan sebesar 13,4 persen.
Sigaret Kretek Tangan (SKT) memiliki kandungan bahan baku lokal tertinggi dan menciptakan padat karya, banyak menyerap tenaga kerja. Itu yang mendorong pemikiran pemerintah menaikkan tariff cukai SPM (Sigaret Putih Mesin) dan SKM (Sigaret Kretek Mesin).
Realitanya, sambung dia, meski produksi rokok turun tetapi hasil tembakau naik dalam lima tahun terakhir. Begitu pula rokok ilegal meningkat 3 persen pada 2019 menjadi 4,9 persen pada tahun 2020, rata-rata salah peruntukan cukai.
Sedangkan Budidoyo menyampaikan industri hasil tembakau adalah satu rangakaian yang berimbas ke hilir dan hulu.
Pengambil kebijakan harus berpikir holistik dan terintegrasi karena akan berdampak panjang, kenaikan cukai berbanding lurus dengan rokok ilegal. “Itu yang terdeteksi. Salah peruntukan cukai itu semi-ilegal,” jelasnya. (Bam/Gon)
Post a Comment