Yenny Wahid: Upaya Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan Terganjal Ketiadaan UU
WARTAJOGJA.ID: Upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh belahan dunia, terus dilakukan hingga saat ini. Meski begitu, korban peristiwa kekerasan terhadap perempuan terus bertambah, bahkan mengalami peningkatan selama pandemi.
Dalam rangka mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, Wahid Institute sebagai lembaga yang memiliki kepedulian terhadap isu kesetaraan gender mengajak semua pihak berperan dalam memerangi salah satu pelanggaran HAM tersebut.
”Sejak awal, persoalan kekerasan terhadap perempuan telah menjadi salah satu perhatian Wahid Institute. Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional 25 November, Wahid Institute mengajak seluruh elemen masyarakat saling bahu-membahu memerangi kejahatan yang masuk kategori pelanggaran HAM tersebut,” tutur Yenny Wahid kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (24/11).
Menurut putri ke-2 Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid itu, seruan untuk membangun masa depan dunia tanpa kekerasan hingga kesetaraan gender tak henti-hentinya digaungkan oleh Wahid Institute.
“Upaya pendidikan publik untuk membangun kesadaran dan mendorong keterlibatan semua adalah kunci dari keberhasilan mengembangkan budaya tanpa kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender,” jelas Direktur Wahid Institute itu.
Hal ini sejalan dengan prinsip kerja dan mandat Wahid Institute yang bermitra dengan baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah dalam memfasilitasi upaya terkait pencegahan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Yenny mengungkapkan, upaya-upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi begitu penting karena kasus demi kasus terus terjadi. Padahal belum semua kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat dikenali oleh sistem hukum Indonesia.
Untuk itu, dalam kesempatan peringtan hari anti kekerasan terhadap perempuan kali ini, Yenny Wahid juga meminta DPR segera menyelesaikan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena menurutnya, RUU PKS merupakan kebutuhan yang mendesak untuk diselesaikan.
”Salah satu PR-nya agar Undang-undang itu bisa memberikan dasar hukum perlindungan bagi perempuan yang lebih baik,” tandas perempuan yang bernama asli Zannuba Arifah Chafsoh itu.
Bagi Yenny, RUU PKS menjadi kebutuhan mendesak terlihat dari beberapa kasus yang muncul selama ini. Salah satunya, lanjut dia, adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus perguruan tinggi yang marak belakangan ini.
Yenny mengatakan, RUU PKS harus segera rampung sebab sudah banyak sekali kasus kekerasan seksual, baik fisik maupun verbal yang menimpa perempuan.
Hal itu, kata dia, terbukti dari rilis data Komisi Nasional Perempuan yang menyebut banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ini. "Dengan melihat kasus yang begitu banyak terjadi, ini jadi kebutuhan mendesak," ucapnya.
Catatan Komnas Perempuan, dalam satu dekade terakhir (2011–2020), kekerasan seksual yang terjadi di ranah komunitas maupun pribadi mencapai 49.643 kasus.
Sampai Juni 2021, Komnas Perempuan telah menerima 2.592 kasus atau sudah lebih dari total kasus yang diterima tahun 2020. (Cak/Rls)
Post a Comment