Toleransi Sebagai Kunci Interaksi Sosial di Ruang Digital
Kota Semarang – Era digital mendukung pola komunikasi baru yang lebih mudah, cepat, dan tak terbatas ruang dan waktu. Interaksi yang tercipta pun menjadi berbeda karena pertemuan tidak lagi harus dilakukan secara langsung. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo RI untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, dengan tema “Transformasi Digital: Era Baru Interaksi Sosial”, Kamis (25/11/2021).
Diskusi dipandu oleh Fikri Hadil (presenter) dengan menghadirkan empat narasumber: Khairul Anwar, Ahmad Sururi (Dosen Universitas Serang Raya), Widiasmorojati (Entrepeneur), Ahmad Faozy (Aktivis Pendidikan). Serta Audrey Chandra (News Presenter) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber membawakan tema diskusi dari perspektif empat pilar literasi digital yaitu digital ethic, digital skill, digital safety, digital culture.
Widiasmorojati (Entrepeneur) melalu pemaparan materi diskusinya menyampaikan bahwa pandemi telah mendorong adaptasi digital secara lebih cepat dan turut mengubah kebiasaan serta interaksi sosial mengikuti intervensi dan dominasi digital yang semakin berkembang. Masyarakat perlu beradaptasi dengan cepat untuk mengimbangi kemajuan teknologi.
Dalam proses adaptasi tersebut hal pertama yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku mengikuti perkembangan teknologi. Dengan growth mindset, masyarakat akan lebih mudah menerima perubahan sekaligus beradaptasi. Di dalam ruang digital banyak hal yang belum diketahui sehingga harus scale up kemampuan dan keterampilan dalam membaca, menulis, berbicara, juga memecahkan masalah.
“Selain itu masyarakat juga harus memilik toleransi dalam menghadapi perubahan interaksi dan kebiasaan dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan berbudaya digital,” jelas Widiasmorojati.
Nilai-nilai Pnacasila sebagai dasar berbudaya digital penting dalam menjaga moralitas bangsa, dalam hal ini adalah interaksi yang beradab. Dalam berinteraksi di ruang digital harus saling menghormati, relasi antar manusia dibangun dengan rasa cinta kasih, memanusiakan orang lain sehingga seyogyanya berlaku pada sesama itu harus adil dan beradab.
“Dan agar tercipta harmoni, perlu mengedepankan sikap demokratis dimana semua orang punya andil dalam berpendapat. Dengan demikian tercipta interaksi yang satu padu dalam ruang online yang positif,” imbuhnya.
Sementara itu Ahmad Faozy menambahkan budaya digital memberikan kemudahan dalam beromunikasi baik antar individu atau dengan orang banyak, informasi juga dapat diperoleh dengan sangat mudah. Dalam interaksi sosial di ruang digital budaya dan etika saling melekat dan melengkapi, bahwa manusia yang beretika akan menghasilkan budaya yang beretika pula.
“Etika dalam beriteraksi di ruang digital itu adalah mampu berempati dengan orang lain sebagai lawan bicara, sadar terhadap segala hal dilakukan dan mau bertanggung jawab pada setiap konsekuensinya. Serta berinteraksi dengan akhlah yang baik, jujur, dan tidak melukai orang lain,” kata Ahmad Faozy.
Urgensi penerapan etika dalam interaksi di ruang digital semakin meningkat ketika dalam survei oleh Microsoft Indonesia termasuk pada jajaran warganet dengan tingkat kesopanan yang rendah. Faktor pendorongnya pun beragam mulai dari maraknya hoaks, scam, dan penipuan, ujaran bernada kebencian, dan diskriminasi.
“Pengguna media digital harus menguasai soft skill literasi digital berupa netiket atau tata krama dalam menggunakan internet baik ketika itu melakukan interaksi antar individu, atau individu dengan kelompok.”
Netiket di ruang digital yang perlu dipahami pengguna media digital adalah menghormati perbedaan dan menghormati privasi orang lain. Tidak menyinggung isu SARA, atau memicu perpecahan karena melanggar privasi orang lain. Tidak melakukan plagiasi dan menghormati hak cipta karya orang. Bijak dan cermat dalam berbahasa, menggunakan stiker, dan emoji, menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. (*)
Post a Comment