Menjadi Pelopor Masyarakat yang Melapor
Kota Semarang – Hasil survei Microsoft pada 2020 lalu tentang digital civility index menjadi tolak ukur bagi warganet Indonesia untuk meningkatkan lagi literasi digital, pasalnya survei tersebut menunjukkan rendahnya kesopanan warganet saat bermedia.
Gerakan nasional literasi digital yang diusung pemerintah RI pada Mei-Desember 2021 dalam format webinar mengajak masyarakat untuk memahami dan mempraktikkan literasi digital yang meliputi digital ethic, digital skill, digital culture, digital safety. Rangkaian webinar salah satunya digelar untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, dengan tema “Menjadi Pelopor Masyarakat Digital”, Kamis (11/11/2021).
Fikri Hadil (entertainer) memandu diskusi dengan menghadirkan empat narasumber: Bevaola Kusumasari (dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Nur Rohman (dosen UIN Raden Mas Said), A. Firmannamal (praktisi kehumasan Kementerian Sekretariatan Negara), Rhesa Radyan Pranastiko (digital marketer). Serta Rafli Albera (talent and music producer Rans Entertainment) sebagai key opinion leader.
Rhesa Radyan Pranastiko, seorang digital marketer, menyampaikan kebiasaan penggunaan teknologi sudah akrab dan menjadi budaya generasi saat ini, terlebih kondisi pandemi memang memaksa semua orang untuk mau menggunakan teknologi. Budaya komunikasi dan bersosialisasi menjadi semakin mudah dan cepat, teknologi juga menumbuhkan cara belanja baru yang instan melalui lokapasar.
Terjun ke dunia digital menjadi peluang besar untuk berjejaring, meningkatkan pengetahuan, menggali potensi karena jumlah penduduk yang terkoneksi dengan layanan handphone sudah melampaui jumlah populasi penduduk. Serta pengguna internet sudah berada pada angka 64 persen, yang artinya pintu peluang sangat terbuka lebar untuk memanfaatkan media digital dan mendapatkan nilai tambah ekonomi.
Dalam bermasyarakat digital, kemampuan budaya digital sangat penting agar individu mampu membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat harus dapat mengubah pola pikir kearah grow mindset untuk bisa berdaptasi dengan perkembangan digital.
“Dalam berbudaya digital, baik itu ketika berkomunikasi, bertransaksi, mencari informasi, memerlukan mindful communication yang mengedepankan prinsip terbuka, tidak menghakimi, dan berelasi dengan penuh belas kasih, empati, dan simpati. Singkatnya, berbudaya digital itu menjadikan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pijakan dalam berpikir, besikap, dan bertindak,” ujar Rhesa Radyan Pranastiko.
Nilai-nilai dalam budaya digital itu di antaranya mau menghargai perbedaan di tengah keragaman, menghormati dan memperlakukan orang lain dengan setara, mementingkan harmoni, menghargai hak demokratis orang lain, serta bekerjasama dalam menciptakan budaya digital yang baik.
“Tanpa pijakan tersebut individu tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan, pencemaran nama baik. Serta tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital. Warga digital yang pancasilais adalah yang mampu berpikir kritis. Dapat mengidentifikasi, observasi, dan evaluasi ketika menyikapi informasi maupun komentar,” terangnya.
Praktisi kehumasan Kementerian Sekretariatan Negara A. Firmannamal menambahkan bahwa di ruang digital ada banyak sekali konten negatif berseliweran. Sebagai warga yang berbudaya ia mengajak warga digital untuk menjadi pelopor masyarakat digital yang melaporkan ujaran kebencian dan konten negatif lainnya, agar lingkungan digital ini menjadi nyaman oleh siapapun.
Untuk bisa melakukan pelaporan, dibutuhkan keterampilan digital untuk memahami kegunaan fitur-fitur di platform digital. Ujaran kebencian dan konten negatif lainnya seperti hoaks dapat dilaporkan secara digital melalui situs Kominfo aduankonten.id dengan menyertakan bukti berupa link dan tangkapan layar, atau ke patrolisiber.id. Atau secara lebih mudah menggunakan fitur lapor dan block yang tersedia di setiap paltform digital.
“Menjadi masyarakat pelopor yang melaporkan konten negatif dan ujaran kebencian akan membantu adik-adik yang belum dewasa untuk bermedsos agar tidak terpapar hal negatif tersebut. Karena kalau tidak dilaporkan, generasi muda yang belum dewasa ini akan menganggap konten bernada kebencian sebagai konten yang wajar,” jelas A. Firmannamal.
Serta selalu ingat agar menjadi benteng kontrol diri dalam bermedia, ada batasan hukum dalam berekspresi di ruang digital. Jerat hukum pelaku ujaran kebencian di medsos diatur dalam UU ITE nomor 11 tahun 2008 dan UU nomor 19 tahun 2016 Perubahan atas UU ITE. Bahwa sanksi hukum pada Pasal 45 ayat (3) adalah hukuman penjara paling lama empat tahun, atau denda sebanyak 750 juta rupiah. (*)
Post a Comment