Mengapa Netizen Kita Bisa Terpapar Hoaks 60 Persen? Karena Suka Unduh yang Tak Butuh!
Sleman: Di masa lalu, informasi hanya diproduksi oleh media massa mainstream. Baik itu cetak: koran dan majalah, juga radio dan belakangan media televisi yang membanjiri ruang publik dengan berita yang bersifat sedang terjadi, live news. Tapi, transformasi digital mendisrupsi semua itu. Dengan senjata smartphone, jutaan jurnalis lahir dan melaporkan beragam berita langsung dari lokasi. Membanjiri ruang publik tak kenal waktu. Tanpa batas wilayah.
Semua netizen yang tinggal di Indonesia pada 2020, menurut data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), ada 202 juta warga yang terkoneksi internet, di mana 170 juta di antaranya aktif bermedsos dan berpeluang jadi penyetor konten berita dan beragam informasi di beragam medsos yang ia miliki akunnya. Tentu, tanpa etika jurnalisme dan tak ada kode etik jurnalistik yang diatur undang-undang seperti produk pers.
Mengutip Prasidono Listiaji, pemred media online AgendaIndonesia.com, dulu dengan belasan channel televisi dan ratusan radio, juga berpuluh majalah dan koran, kita sudah kebanjiran informasi. Kini, ratusan juta orang makin membanjiri media sosial tak terkendali. Makanya, Katadata pada 2020 lalu merilis info kalau 60 persen netizen kita pernah terpapar hoaks alias berita bohong, baik itu politik, sosial, ekonomi, agama hingga kesehatan di masa pandemi.
”Dan, hanya 21 s.d. 36 persen yang mampu menyadari dan punya kecakapan literasi digital untuk bisa memilah dan memilih hingga bisa terhindar dari risiko terpapar hoaks. Mengapa itu bisa terus terjadi pada jutaan netizen Indonesia?” Prasidono melempar tanya saat menjadi pembicara dalam Webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Selasa, 16 November 2021.
Mengusung topik ”Menjadi Pelopor Masyarakat Digital” webinar dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo dengan menyampaikan keynote speech, yang menegaskan literasi digital merupakan kerja besar. Selain mengajak semua lapisan masyarakat, pemerintah secara khusus mengajak 110 lembaga dan beragam organisasi untuk turut serta melibatkan diri membanjiri ruang digital dengan konten positif dan inspiratif untuk meminimalisir banjirnya konten negatif di ruang digital. ”Ayo banjiri terus dan isi terus, agar makin banyak netizen yang ambil manfaat dan peluang positif di ruang digital,” pesan Jokowi antusias.
Webinar juga diantar pesan pembuka dari Kakanwil Kemenag DI Yogyakarta, Masmin Afif. Sementara, selain Prasidono, diskuisi virtual yang dipandu moderator Ayu Perwari juga dimeriahkan key opinion leader, news anchor TV nasional Rizky Harisnanda, juga tiga pembicara lain. Yakni, Tukidi, pengawas Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) Kemenag Kab. Kulon Progo, DI Yogyakarta; Ahmadi Sholihin, pengawas Madya Guru Agama Islam Kantor Kemenag Kota Yogyakarta, serta Dr. Nyarwi Ahmad, direktur eksekutif Indonesia Presidential Studies.
Inod, sapaan karib Prasidono, menambahkan, salah satu penyebab netizen sering berpotensi besar terpapar hoaks, karena kebiasaan mereka suka unduh informasi dari ruang digital tanpa pilah dan pilih secara bijak. Mereka juga ceroboh, suka klik asal link informasi yang sebenarnya tak butuh, akibatnya juga jarang baca tuntas informasinya sudah keburu pengen posting.
”Jadinya asal posting, bukan seleksi dan hanya memposting yang penting. Kebiasaan thinking before posting pada semua informasi yang diakses mesti jadi tradisi baru, yang dibudayakan netizen kita di masa datang. Tujuannya, agar peran menjadi distributor hoaks bisa disetop setuntasnya dan selamanya,” ujar Inod, yang juga aktif sebagai konsultan komunikasi.
Sementara itu, narasumber lain, Ahmadi Sholihin, mengatakan, salah satu kebiasaan untuk membaca tuntas, jangan terprovokasi judul berita, itu satu tips penting sebagai garda depan masyarakat anti hoaks. ”Lalu, bandingkan dengan informasi mainstream, juga lakukan cek fakta ke Google check dan Mafindo, karena dalam mencegah hoaks kebenaran informasi jadi kuncinya. Kalau Anda ragu dan tak yakin, stop di jari Anda, agar mudharat tak tersebar luas,” pesan pungkasan Sholihin. (*)
Post a Comment