Mencegah Bahaya Sebaran SARA Di Media Sosial
SRAGEN: Mencegah penyebaran konten bernuansa SARA di media sosial bisa dimulai dengan tidak memposting hal yang berbau sensitif yang bisa menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
Parahnya, konten bernuansa SARA seringkali dikemas dalam bentuk berita hoaks yang akhirnya bisa berpotensi menyebabkan konflik sosial atau perseturuan maupun benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat.
"Postingan SARA yang menyebar di media sosial tidak dapat dimungkiri ternyata banyak diminati para pemilik akun atau pengguna media sosial sehingga ada yang langsung mempercayai informasi yang mereka peroleh namun ada juga yang mencari kebenaran seputar informasi tersebut," kata aktivis kepemudaan Ferry Eko Adi Prasetyo saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema "Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong (Hoaks)" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Selasa (23/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300 peserta lebih itu, Ferry mengatakan
tidak semua pengguna media sosial mampu mengolah informasi yang mereka peroleh dengan bijak. Hal tersebut yang kadang menjadi pemicu terjadinya gesekan sosial antar masyarakat akibat informasi SARA yang tidak sebenarnya yang mereka peroleh dari media sosial.
"Postingan SARA merupakan postingan informasi atau penyebarluasan informasi yang isinya menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan suku, agama, ras dan antargolongan yang tujuan dari penyebarluasan informasi tersebut sangat beragam," kata Ferry.
Ferry menyebut beraneka modus penyebaran konten SARA mulai dari sekedar posting, menciptakan sekat-sekat antar masyarakat, memancing agar timbul atau terjadi gesekan, hingga membangun hubungan permusuhan.
Penyebarluasan informasi yang berkaitan SARA menjadi hal yang perlu diwaspadai karena dapat memicu terjadinya ketegangan antar masyarakat.
"Terutama bagi masyarakat yang tidak mampu menyaring informasi yang diterima jadi bersikap bijak di dunia maya," tegas Ferry.
Adapun yang dilarang UU ITE adalah berbagai hal terkait distribusi konten, melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, pemerasan, penyebaran berita bohong yang merugikan, menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
"SARA ini bisa menjadi ancaman kekerasan atau teror pribadi," tandas Ferry.
Ferry mendorong pengguna menggunakan media sosial sebagai alat promosi dan personal branding. Sebab media sosial dalam perannya saat ini telah membangun sebuah kekuatan besar dalam membentuk pola perilaku dan berbagai bidang dalam kehidupan manusia.
Hal ini yang membuat fungsi media sosial sangat besar. Adapun fungsi media sosial di antaranya didesain untuk memperluas interaksi sosial manusia dengan menggunakan internet dan teknologi web.
"Media sosial berhasil mentransformasi praktek komunikasi searah media siaran dari satu institusi media ke banyak audiens menjadi komunikasi dialogis antara banyak audiens atau many-to-many," jelas Ferry.
Media sosial juga mendukung demokratisasi pengetahuan dan juga informasi mentransformasi manusia dari pengguna isi pesan menjadi pembuat pesan itu sendiri.
Narasumber lain webinar itu, dosen UGM Tauchid Komara Yuda mengatakan jenis hoaks yang sering diterima di media sosial itu ada beragam. Mulai dari sosial politik seperti pilkada /pemerintahan, lalu SARA, kesehatan, makanan minuman, penipuan, iptek, berita duka,candaan, bencana alam sampai lalu lintas.
"Dari survei yang menerima hoaks setiap hari ada 43 persen, lalu 17,2 persen lebih dari 1 kali sehari dan 29,8 persen menerima hoaks seminggu sekali dan hanya 8,7 persen yang 3 bulan sekali menerima hoaks," katanya.
Webinar itu juga menghadirkan narasumber Kepala Bidang Advokasi dan Kerja sama Pusat Studi Pancasila UGM Diasma Sandi Swandaru, dosen HI UNS Septyanto Galan Prakoso, serta dimoderatori Mafin Rizki dan Putri Shabrina sebagai key opinion leader. (*)
Post a Comment