Memahami Kesenjangan Digital Native dan Digital Immigrant
SEMARANG : Generasi digital native atau mereka yang lahir dan tumbuh saat era digital berlangsung aktivitasnya selalu terhubung tanpa batas dengan internet.
“Generasi digital native ini dalam bertindak cenderung menggunakan intuisi, mereka juga multitasking, mencari informasi melalui media sosial,” kata Mathelda Christy, seorang praktisi pendidikan saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Menjadi Masyarakat Digital yang Pintar” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah , Kamis (25/11/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Mathelda mengatakan ketika digital native tumbuh, mereka umumnya memiliki orang tua yang merupakan digital immigrant. Para digital immigrant ini yang perlu mempelajari penggunaan teknologi.
“Sebab kalangan digital immigrant ini dalam komunikasi lebih memilih berbicara langsung. Selain itu, mereka juga cenderung berpikir logis, fokus pada suatu tugas di suatu waktu dan lebih memilih berinteraksi dengan satu atau beberapa orang saja serta mencari informasi melalui berita tradisional,” Jelas Mathelda.
Hal ini jelas berbeda dengan digital native dan memicu kesenjangan. Terlebih karakteristik digital society cenderung tidak menyukai aturan yang mengikat, atau tidak suka diatur-atur. Dikarenakan di ruang digital tersedia beberapa opsi.
“Digital society ini juga berciri senang mengekspresikan diri khususnya melalui platform media sosial dan terbiasa untuk belajar bukan dari instruksi, melainkan dengan mencari,” sebut Mathelda.
Masyarakat digital lebih senang untuk mencari sendiri konten atau informasi yang diinginkan serta tidak ragu untuk mendownload dan upload. “Mereka merasa tidak eksis bila tidak mengupload atau berinteraksi di media sosial, berbagi dan melakukan aktifitas kesenangan bersama,” kata Mathelda Christy.
Mathelda mengingatkan teknologi baru itu artinya tantangan baru. Teknologi hadir untuk memudahkan kehidupan kita namun tidak dapat dimungkiri bahwa kemajuan kemajuan teknologi yang ada menciptakan menciptakan tantangan bagi masyarakat digital. Terlebih Indonesia didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z.
Narasumber lain webinar itu, fasilitator nasional Muhammad Taufik Saputra membenarkan bahwa etika dalam berkomunikasi di ruang digital saat ini krusial dalam mengantisipasi agar terbebas dari penyebaran konten negatif.
Konten negatif yang dimaksud antara lain konten yang berbau SARA, pornografi, kebencian dan kekerasan.
“Termasuk sebelum bereaksi atas konten yang beredar di ruang digital kroscek dulu kebenaran berita itu, dan sebelum unggah juga pastikan menghargai hasil karya orang lain,” kata Taufik.
Taufik mengatakan digital culture saat ini menjadi prasyarat dalam melakukan transformasi digital karena penerapan budaya digital lebih kepada mengubah pola pikir mindset agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital.
“Orang yang bertahan adalah yang mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan budaya digital, maka jadilah warga digital yang cakap bermedia digital,” ujar Taufik Saputra.
Misalnya cakap dan bijak di media sosial dengan pasang identitas asli tapi tetap jaga privasi, pilih-pilih teman jangan asal, menjaga statusmu yang adalah harimaumu dan jangan cantumkan nomor kontak pribadi serta proteksi akun jangan sampai kena hack.
Webinar itu juga menghadirkan narasumber media planner cerita santri Aina Masrurin, praktisi teknologi John Mandagie, serta dimoderatori Zacky Ahmad dan Ronald Silitonga sebagai key opinion leader. (*)
Post a Comment