Memahami HaKI dan Menjaga Budaya di Ruang Digital
Rembang - Kebebasan yang ditawarkan di ruang digital memungkinkan orang untuk membuat dan membagikan konten, dan ruang digital menjadi sarana yang tepat karena mayoritas orang berada di sana. Namun dalam membuat atau membagikan konten juga harus memperhatikan hak atas kekayaan intelektual. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan Kementerian Kominfo RI untuk masyarakat Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dengan tema "Posting Konten? Hargai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)", Rabu (17/11/2021).
Kegiatan dipandu oleh Ayu Perwari (penari tradisional) dan diisi oleh empat narasumber: Dewi Bunga (Dosen UHN IGB Denpasar), Muhammad Yunus Anis (Dosen Universitas Sebelas Maret Surakarta), Evelyne Henny Lukitasari (Dosen Universitas Sahid Surakarta), Kholistiono (Wakil Pemred Betanews.id). Serta Nanda Chandra (musisi) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan tema diskusi dari perspektif empat pilar literasi digital yaitu digital skill, digital culture, digital safety, digital ethics.
Muhammad Yunus Anis (Dosen Universitas Sebelas Maret Surakarta) menjelaskan bahwa konsep bermedia digital perlu melihat lagi pada sisi multikulturalisme di dalamnya, sebagaimana karakter negara Indonesia. Artinya ada keragaman budaya yang harus dirawat dengan Bhinneka Tunggal Ika serta melakukan sinergi budaya dengan memanfaatkan konektivitas digital.
Dan bicara budaya itu memiliki implikasi dengan nilai-nilai Pancasila, bahwa dalam membuat maupun membagikan konten itu harus menghargai hak orang lain, ada hak atas kekayaan intelektual yang harus dipahami.
"Kita harus beri edukasi dan pemahaman bahwa karya yang ditampilkan itu ada pemiliknya, untuk menggunakannya harus ada izin dari pemilik atau dengan mencantumkan sumbernya. Hak atas kekayaan itu dilindungi pemerintah, dan sebagai pemilik sebaiknya melakukan pencatatan hak cipta," jelas Muhammad Yunus Anis.
Indonesia dengan potensi keragaman budayanya harus terus dijaga dan dilestarikan, khususnya di ranah digital. Dengan memperkuat karakter nilai-nilai Pancasila akan terlahir budaya digital yang kreatif, aman dan nyaman. Internalisasinya itu dengan memahami konten yang memuat nilai Pancasila, mampu menilai konten yang selaras atau bertentangan, dan mempraktikannya kedalam kegiatan di ranah digital.
"Warga digital yang Pancasilais adalah yang mampu berpikir kritis, meminimalisir unfollow untuk menghindari echo chamber dan filter bubble yang dapat mempersempit perspektif penilaian, serta bekerjasama mengkampanyekan literasi digital," imbuhnya.
Dasar utama budaya dalam membuat dan membagikan konten adalah selalu melakukan penyaringan. Mencari tahu kebenaran informasi, kredibilitas sumbernya, pastikan tidak merugikan oramg lain, dan dapat memberikan manfaat.
Sementara itu Dewi Bunga (Dosen UHN IGB Denpasar) menambahkan bahwa kemudahan dari kemajuan teknologi memungkinkan orang untuk bertindak etis dan tidak etis. Dalam konteks pembuatan atau penggunaan karya itu ada hak yang harus dihormati. Sebab hasil intelektualitas manusia yang direfleksikan menjadi wujud karya itu memiliki perlindungan hukumnya.
Ia mencontohkan hak kekayaan intelektual pada lagu dan cover lagu. Secara etika dan hukum menyanyikan lagu milik orang lain itu harus minta izin terlebih dahulu kepada pemilik lagu tersebut, dan jika lagu digunakan untuk tujuan komersial maka izin harus dilakukan ke publishernya.
Titik temu penggunaan lagu milik orang adalah ketika penciptanya tidak mempermasalahkannya. Sebab dalam hukum selama proses kasus dapat dimediasi, hukum pidana tidak akan dikenakan.
"Hal lain yang juga mesti diperhatikan adalah memotret orang lain tanpa izin dan mengunggahnya menjadi konten. Perilaku tersebut masuk ke dalam pelanggaran privasi. Jika konten yang diunggah mengakibatkan adanya perundungan, ujaran kebencian maka pasal yang dikenakan bisa berlapis karena menimbulkan ketidaknyamanan," jelas Dewi Bunga. (*)
Post a Comment