Anggota DPD RI Cholid Mahmud Runut Dugaan Pemicu Permendikbudristek No 30
WARTAJOGJA.ID: Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI DIY Cholid Mahmud merunut awal mula lahirnya Permendikbudristek No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Hal ini menyusul makin menguatnya penolakan terhadap aturan itu, tidak hanya kalangan pendidik, perguruan tinggi maupun kampus serta organisasi masyarakat juga sudah menyuarakan penolakan.
Mulai dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga sudah menolak serta mendesak aturan itu dicabut dan direvisi sejalan dengan Pancasila dan UUD 45.
"Sebenarnya ini isu yang berawal dari dunia Barat yang dikenal dengan kebebasan seks. Budaya Barat dengan seks bebas itu, framenya dipindahkan begitu saja ke sini, sepenuhnya dipindah ke kita. Seolah-olah background kita sama,” kata Cholid di Yogyakarta Selasa (16/11).
Regulasi itu sebenarnya sudah pernah muncul di UI kemudian ditentang oleh banyak pihak akhirnya dicabut. “Nggak tahu kok bisa dipindah ke Kemendikbud dan menjadi bertambah luas. Padahal background kita berbeda,” kata dia.
Cholid berharap Mendikbudristek Nadiem Makarim mau mendengar aspirasi tersebut kemudian mencabut peraturan yang bertentangan dengan Pancasila dan tujuan pendidikan, bukan sebaliknya justru mengancam kampus dan perguruan tinggi yang melakukan penolakan. “Banyak kampus bersuara dan banyak yang menentang,” kata dia.
Dijelaskan, Permendikbudristek No 30 tahun 2021 terdiri dari sembilan bab dan 58 pasal. Ditetapkan di Jakarta 31 Agustus 2021, diundangkan pada 3 September 2021 dan masuk Berita Negara Republik Indonesia tahun 2021 Nomor 1000.
Dari sisi judul, Permendikbudristek No 30/2021 ini senafas dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang batal disahkan. Judul Permendikbudristek No 30/2021 adalah Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“RUU PKS lingkupnya lebih umum yaitu seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sedangkan Permendikbudristek lingkupnya lebih khusus yaitu di Perguruan Tinggi. Tetapi keduanya mengangkat tema utama yang sama, yaitu tentang kekerasan seksual,” jelasnya.
Mengenai definisi kekerasan seksual, antara RUU PKS dan Permendikbudristek hampir memiliki kesamaan. Dalam RUU PKS, definisi kekerasan seksual adalah: Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik (Bab I, pasal (1))
Sedangkan dalam Permendikbudristek No 30/2021, desinisi kekerasan seksual adalah: Setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal (Bab I, pasal (1)).
Lebih jauh Cholid Mahmud menyampaikan, jika dalam RUU PKS ada frasa “yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas”, sedangkan dalam Permendikbudristek tidak ada.
Frasa “yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas” telah meliputi pasal-pasal kekerasan seksual yang ada dalam RUU PKS, artinya sebuah perbuatan didefinisikan sebagai bentuk kekerasan seksual jika perbuatannya tidak mendapatkan persetujuan dalam keadaan bebas. Jika mendapatkan persetujuan dalam keadaan bebas, maka perbuatan tersebut tidak masuk dalam kekerasan seksual.
Sedangkan dalam Permendikbudristek No 30/2021, tidak ada frasa “yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas”. Tetapi bentuk persetujuan itu diterjemahkan dalam pasal 5 ayat (1) dan (2).
Di dalam pasal 5, ayat (1) disebutkan : Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 5 , ayat (1) ini tentu saja secara normatif dapat diterima dalam norma hukum dan norma susila, sebagai bentuk perlindungan kepada seseorang supaya tidak mendapatkan perlakukan kekerasan seksual.
Tetapi memasuki pasal 5, ayat (2); terdapat poin-poin penjelasan yang bertentangan dengan norma-norma hukum dan susila. Pasal 5, ayat (2) berbunyi : Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
Kemudian, f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban; l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
“Pasal 5, ayat (2), poin b, f, g, h, j, l, dan m terdapat frasa yang sama yaitu “tanpa persetujuan Korban”, sedangkan poin j memakai frasa “tidak disetujui oleh Korban”. Jika memakai logika sebaliknya, jika perbuatan itu disetujui korban, maka tidak termasuk bentuk kekerasaan seksual,” kata dia.
Misalkan pasal 5, ayat (2), poin l : menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban. Jika semua itu disetujui oleh Korban, maka tidak ada delik hukum di dalamnya.
Cholid menyatakan, nuansa dalam RUU PKS dan Permendikbudristek No 30/2021 adalah sama yaitu melegalkan seks bebas yang bertentangan dengan norma hukum dan norma susila di Indonesia.
Jika dalam RUU PKS nuansa seks bebas itu disembunyikan dalam Bab I, pasal 1; sedangkan dalam Permendikbudristek justru sangat transparan dimasukkan dalam pasal 5.
Mestinya semangat regulasi di Indonesia ini merujuk kepada Pancasila dan UUD 45. Sementara Permendikbudristek No 30/2021 jelas-jelas bertentangan dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berbagai macam bentuk tindakan perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan jelas-jelas bertentangan dengan jiwa dan roh Pancasila serta UUD 1945, baik perbuatan itu dengan persetujuan Korban atau tanpa persetujuan Korban.
“Pada hakikatnya agama-agama di Indonesia melarang seks bebas dalam berbagai macam bentuknya. Hubungan seks hanya dibenarkan melalui perkawinan yang sah,” tandasnya.
Dalam Penjelasan Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Pancasila sebagai dasar, ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. (Dho/Rls)
Post a Comment