Yin dan Yang Ruang Digital di Era Transformasi
Brebes – Sudah menjadi pakem bahwa dalam kebaikan selalu ada keburukan, ada bahaya dalam setiap kemudahan. Hal yang sama juga berlaku ketika budaya digital telah menjadi bagian dari kehidupan saat ini. Teknologi dan internet mempermudah segala urusan, namun bahaya di setiap sudutnya juga selalu datang bersama. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kominfo RI untuk masyarakat Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Jumat (8/10/2021) dengan tema “Kenali Bahaya di Dunia Digital, Jangan Asal Klik di Internet”.
Diskusi virtual dipandu oleh Fernand Tampubolon (entertainer) dan diisi oleh empat narasumber Yanti Dwi Astuti (dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Rizki Ayu Febriana (business coach UMKM), Mustaghfiroh Rahayu (dosen Universitas Gadjah Mada), Durrotul Ma’munah (guru pondok pesantren dan fatayat NU Brebes). Serta Sherrin Tharia sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi dari perspektif empat pilar literasi digital: digital culture, digital safety, digital skill, digital ethics.
Dosen Universitas Gadjah Mada Mustaghfiroh Rahayu menyampaikan kaitannya bahaya di dunia digital maka ada aspek keamanan (security) yang meliputi aspek melindungi data serta jaringan informasi, dan keselamatan (safety) yang berhubungan dengan perlindungan dari konten digital yang berbahya.
Fokus pada keamanan yang berhubungan dengan perilaku digital, khususnya tentang bahaya hoaks. Mustaghfiroh Rahayu mengatakan bahwa tersebarnya hoaks tidak terlepas dari kecenderungan karakter warga digital Indonesia yang merasa bangga jika menjadi yang pertama dalam berkomentar dan menyebarkan informasi. Padahal aturan etikanya sebelum bereaksi harus mencermati isi dari konten terlebih dahulu.
Hoaks atau berita bohong paling banyak disebar melalui saluran media sosial yang memiliki jumlah massa paling banyak, dan warga digital Indonesia cukup masuk dalam kategori kecanduan medsos. Maka tak heran jika hoaks menjadi sesuatu yang membahayakan, maka dari itu perlu kecakapan untuk mampu mengidentifikasi informasi.
“Kecakapan dasar untuk menjadi warga digital yang melek literasi digital adalah yang mampu mengoperasikan dan menggunakan teknologi untuk mendukung aktivitas sehari-hari seperti berkomunikasi dan berkolaborasi, menggunakan teknologi yang menunjang profesi dan pekerjaan, dan mampu mengelola dan mengatur informasi,” jelasnya.
Dalam mengelola dan mengatur informasi itu perlu kecakapan berpikir kritis. Ketika mengenali informasi hoaks misalnya, kita harus kritis untuk memeriksa kredibilitas sumber informasi, melakukan cek silang dengan melakukan komparasi informasi atau menggunakan Google Fact Checks dan Google Images. Memahami isi konten dan halaman situs apakah ada pengelabuan dan sebagainya.
“Menjadi warganet antihoax adalah dengan menggunakan kecakapan dasar membaca, membiasakan membaca tidak hanya pada judul saja tetapi juga isi kontennya. Berpikir kritis dan mengedepankan pemikiran rasional, melakukan tabayyun atau verifikasi dan evaluasi setiap informasi. Mengontrol diri untuk tidak mudah mengunggah dan menyebarkan informasi,” terangnya.
Sementara itu Durrotul Ma’munah (guru pondok pesantren dan fatayat NU Brebes) menambahkan bahwa dalam berliterasi digital ada nilai yang perlu dijunjung sebagai warga Indonesia, yaitu menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam budaya digital saat ini.
“Yaitu mengamalkan nilai cinta kasih serta menghormati perbedaan dalam keyakinan dan beragama, mengutamakan nilai kesetaraan dan memperlakukan orang lain secara adil dan manusiawi. Ada nilai harmoni yang mengedepankan kepentingan Indonesia di atas kepentingan lainnya. Menghargai hak demokrasi orang lain, dan saling gotong royong atau kolaborasi menciptakan kebaikan,” ujarnya.
Penerapan budaya dalam situasi yang semakin banyak bergantung pada penggunaan teknologi adalah bagaimana warga digital dapat mengembangkan growth mindset. Yaitu pola pikir untuk mau beradaptasi, belajar dan berkembang.
“Untuk itu perlu partisipasi seluruh masyarakat untuk dapat mewujudkan budaya yang baik, butuh kemampuan untuk bisa membuat inovasi baru dari budaya-budaya yang sudah ada,” tutupnya. (*)
Post a Comment