Waspada Penyakit Kejiwaan Akibat Kecanduan Internet
CILACAP: Sebanyak 19,5 persen masyarakat Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 8 jam sehari untuk menggunakan internet.
Hal itu berdasar temuan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) periode 2019- kuartal II 2020.
"Waspadai itu, karena di Indonesia sebagian user telah mengalami Nomophobia," kata Blogger dan SEO Specialist Ragil Triatmojo saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema "Mengembangkan Minat dan Bakat Dengan Literasi Digital" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (28/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Ragil menjelaskan Nomophobia merupakan satu masalah kejiwaan yang ditandai dengan terlalu seringnya seseorang memeriksa smartphonenya.
"Walaupun sebenarnya interval user dalam memeriksa smartphone Ini juga dipengaruhi oleh jenis aplikasi yang terpasang di dalamnya," ujar Ragil. Sederhananya nomophobia merujuk pada sikap kecemasan karena tidak memiliki akses ke ponsel atau layanan ponsel alias takut jauh dari ponsel.
Untuk mengatasi masalah itu, Ragil mendorong pengguna dengan waktu besarnya mengakses internet itu dapat mengarahkan ke hal positif.
Misalnya mengembangkan minat dan bakat dengan literasi digital.
"Keterampilan dan literasi digital menuntut kita harus menguasai dalam menggunakan dunia digital dengan hal yang positif dan kreatif," kata dia.
Manfaat yang bisa didapatkan dari internet sangat banyak. Mulai memperoleh keterampilan, memahami informasi, terhindar dari kejahatan cyber, dan memberikan dampak positif bagi orang sekitar.
Narasumber lain webinar itu, staf pengajar Fisip UNS Akhmad Ramdhon mengatakan budaya digital mesti diletakkan dalam konteks kebudayaan dan identitas kebangsaan yaitu Pancasila.
"Kebhinekaan, toleransi keberagaman maupun keadilan budaya digital menjadi satu bagian berkorelasi sebagai upaya melestarikan kebudayaan lokal," kata dia.
Akhmad mengatakan kearifan lokal Indonesia tak lain keragaman identitas itu. Makanya, ia mendorong ruang digital bisa jadi ajang promosi seni dan budaya hingga merawat budaya digital itu.
"Misalnya memenuhi hak-hak digital, dan melindungi individu yang mempunyai keterbatasan," kata dia.
Akhmad mengatakan sikap inklusif budaya digital atau sikap kritis atau positif berekspresi bisa diarahkan untuk mengelola data dan informasi publik dan privat.
Webinar itu juga menghadirkan narasumber CEO Jaring Pasar Nusantara M. Achadi, Ketua Yayasan Quranesia Amrina Rasyada Zusdi F. Arianto serta dimoderatori Tommy Rumahorbo dan Fahri Azmi selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment