Warga Digital Harus Punya Kompetensi Berbudaya di Dunia Maya
Semarang – Internet adalah ruang publik di dunia maya yang tersekat-sekat, bisa berdimensi tunggal maupun kolektif. Berinteraksi di dunia digital di internet menjadi budaya baru masyarakat, baik interaksi personal maupun sosial, formal maupun informal.
“Tiap personal menjadi warga digital di dunia digital yang saling berinteraksi dalam memenuhi kebutuhannya. Butuh kompetensi agar berbudaya digital yang baik, tidak sekadar bisa memanfaatkan alat digital,” ujar Fajar Adhy Nugroho, Kepala pada Bagian Tata Usaha Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (26/7/2021).
Berbicara berbudaya digital dalam konteks Indonesia, dia menjelaskan Indonesia sebagai negara multikultur memiliki heterogenitas suku, agama, ras dan antargolongan. “Suku, agama, ras dan antargolongan merupakan hal yang sangat rentan menjadi gesekan bila dipertentangkan,” jelasnya.
Baginya, dunia maya adalah manifesto dunia riil dalam berinteraksi antarpersonal melalui peripheral digital. Hal itu juga sangat rentan apabila dijadikan alat untuk memunculkan pergesekan atau informasi yang tidak benar.
Melalui webinar bertema ”Strategi Menangkal Konten Hoax” kali ini, sekali lagi dia mengingatkan setiap individu di Indonesia perlu literasi berbudaya digital. Literasi tersebut mencakup aspek pengelolaan informasi, medesain pesan, berbagi pesan, membangun ketangguhan diri serta perlindungan data dan kolaborasi.
Fajar menambahkan, kurangnya pemahaman terhadap literasi digital bisa berakibat seseorang tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah pada segregasi sosial (perpecahan/polarisasi) di ruang digital.
Dikhawatirkan mereka juga tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital, atau tidak mampu membedakan misinformasi, disinformasi dan malinformasi. Lebih berbahaya lagi bisa menjurus pada menjamurnya hoaks dengan beragam motifnya mulai dari ekonomi, politik, mencari kambing hitam atau pecah belah (SARA).
Narasumber lainnya, Kasi Kelembagaan Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah, Mukhammad Nur Kholis, menyampaikan komunikasi digital memiliki karakteristik komunikasi global yang melintas batas geografis dan budaya, juga meimiliki etika yang berbeda. Etika sebagai sistem nilai dan norma moral menjadi pegangan seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Menurut Analis Kepegawaian Ahli Muda ini, ruang lingkup etika menyangkut pertimbangan perilaku yang dipenuhi kesadaran, tanggung jawab, integritas (kejujuran) dan nilai kebajikan. Inilah pentingnya memahami Digital ethics yaitu kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan,menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola digital.
Dipandu moderator Nabila Nadjib, webinar juga menghadirkan narasumber Ipah Ema Jumiati (Lektor Kepala), Akhmad Firmannamal (Researcher The Digital Media Research Center Queensland Univesity ot Technology) dan Deasy Noviyanti (Instructor for Barre Workout) selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment