Tebar Empati dan Stop Hoaks. Itu Bukti Kebebasan Berekspresi Sejati
Brebes: Niat baik, terkadang kalau salah diekspresikan di medsos, justru berdampak melanggar privasi. Sering di antara kita pergi bersama menengok teman yang sakit. Dengan maksud memberi tahu teman lain kalau si Yayuk dirawat sakit anu di rumah sakit itu, di-capture dengan foto dengan wajah si pasien. Etiskah?
Kalau misal sakit si Yayuk tak parah dan memberi izin fotonya diposting di grup WA atau facebook dan tag teman yang diharap ingin nengok, tak mengapa. Tapi kalau si pasien sakit parah atau koma, malah diajak selfie dan diposting, jelas kurang simpatik dan melanggar privasi pasien. Itu justru membuat sikap kita kurang rasa empati.
”Pesan saya, sepulang ikut webinar ini, tradisi selfie dengan pasien walau itu teman deket atau saudara mohon dihentikan, karena tidak etis dan tidak ada untungnya buat Anda, pasien, dan di rumah sakit hal itu juga dilarang. Bukan begitu mestinya Anda menyalurkan kebebasan berekspresi di media sosial yang disaksikan banyak netizen tanpa batas,” pesan Santi Indra Astuti, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, saat tampil dalam webinar bertopik ”Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital”, yang digelar Kementerian Kominfo bersama Debindo untuk warga Kabupaten Brebes, 5 Oktober 2021.
Selain jangan langgar empati, kebebasan berekpresi di medsos juga jangan malah berakibat jadi hoaks. Ini lebih harus dihindari. Berita hoaks provokatif belum lama terjadi pada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Seseorang sengaja mengkroping foto Ridwan Kamil saat dikerubut suporter Persib di Stadion Jaka Baring Palembang, usai laga tanding di sana. Yang kebangetan, judul berita yang menyertainya ditulis: ”Ini Bukti RK Dukung LGBT di Jawa Barat”.
”Sangat keterlaluan dan itu makin nyata kebebasan ekspresi dengan nulis berita yang ngawur, bahkan kebablasan dengan mengakali moment foto dengan niat jahat mencitrakan buruk seorang tokoh publik. Merugikan nama baik itu satu hal yang dilarang dalam etika kebebasan berekspresi di dunia digital,” lanjut Santi, yang juga penulis modul Cakap Digital dan koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) Jawa Barat.
Dipandu moderator , presenter, Neshia Sylvia, tampil juga tiga pembicara lain: Krisna Murti, dosen Universitas Sriwijaya Palembang dan anggota IAPA; Zein Handoko, pengajar pesantren Aswaja Nusantara; Mujiantok, Founder Artshoft Technology; serta Putri Juniawan, Presenter TV yang tampil sebagai key opinion leader.
Dalam menyikapi beragam kiriman konten atau koment negatif di akun kita dari berbagai sumber, Putri Juniawan punya saran. ”Saya biasa diemin. No respon. Jangan salah, sikap no respon saya itu justru bentuk respon. Itu hak dan kebebasan kita. Tidak ada keharusan kita untuk respon balik atau follback beragam kiriman atau konten yang ditujukan pada kita. Tenang, jangan panas, jaga emosi. Pikir ulang sebelum koment. Kalau memang dirasa tak menguntungkan kita, diam kita berarti bermakna emas,” saran Putri.
Untuk mencegah berita hoaks, yang di masa covid bahkan sering berbahaya beritanya ketimbang virusnya, biasakan baca tuntas. Jangan cuma percaya judul berita agar bisa tercerahkan. So, mari budayakan membaca tuntas dan mencari sumber pembanding, dan ajak diskusi rekan serta ahli yang bisa dikontak untuk meyakinkan akuntabilitas ahli yang jadi rujukan berita.
”Dan, jangan suka over sharing di medsos. Ndak ada kok yang kasih jempol kamu kalau kamu duluan posting info yang dampaknya ternyata mudharat buat pembacanya. Stop di jarimu, itu lebih bagus. Gunakan jarimu untuk tebar empati dan stop hoaks di medsos. Itu bukti Anda semua bisa jaga kebebasan berekpresi di dunia digital dengan benar,” ujar Krisna Murti memungkasi diskusi. (*)
Post a Comment