Tantangan wujudkan komunikasi publik yang sehat di era digital
Grobogan: Sebagian proses komunikasi masyarakat kini telah berpindah ke ruang digital, seperti media sosial. Hal ini dimungkinkan karena di masa pandemi Covid-19 pergerakan mobilitas masyarakat sontak dibatasi.
Tak peduli pemerintah, masyarakat atau kelompok warga berlatar apa pun, mesti diakui kian familiar membangun komunikasi melalui media sosial itu. Bahkan, akun-akun media sosial pemerintah saat ini kian interaktif menjalin komunikasi dengan warganet, dengan bahasa-bahasa yang tak melulu kaku dan formil, sehingga membuat suasana dialog medsos itu terasa cair, hangat dan seperti antarteman.
“Komunikasi melalui media digital akan menjadi menarik ketika menggunakan bahasa-bahasa yang eye catching,” kata Ni Made Ras Amanda, dosen Universitas Udayana Bali saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Komunikasi Publik yang Sehat di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Senin (23/8/2021)
Made memberi sejumlah contoh bahasa komunikasi akun medsos, misalnya TNI Angkatan Udara (AU) yang dikenal cerdas sekaligus kocak ketika berinteraksi dengan warganet medio 2016 lalu.
Saat itu seorang pengguna medsos iseng bertanya kepada admin akun TNI AU, apakah untuk menjadi seorang admin medsos TNI harus melewati latihan fisik berat seperti layaknya tentara? Secara mengejutkan, sang admin membalas ‘Tidak perlu. Cukup perbanyak push-up 3 jari agar jempolnya kuat, karena di dalam jempol yang kuat terdapat twit yang sehat’.
Juga, admin akun medsos Ditjen Pajak RI saat merespons upaya bercanda warganet. Akun itu merespons dengan jawaban singkat, ‘Kurang lucu tapi nice try-lah. Besok dicoba lagi.’
Made menuturkan, untuk membuat komunikasi di medsos interaktif memang perlu menguasai wacana. “Artinya, komunikasi itu bisa mengangkat atau dikaitkan dengan isu-isu yang sedang tren,” tuturnya. Selain itu, dalam komunikasi yang dibangun juga perlu adanya konsistensi. Dalam arti, time line yang selalu ‘up’ pada saat yang sama dengan feed yang sama.
“Kita juga perlu komunikatif dalam arti selalu stand by untuk menjawab pertanyaan warganet,” tegas Made.
Terkait upaya membangun komunikasi massa di ruang digital secara sehat, Made Amanda pun merujuk pada Formula Lasswell atau The Lasswell Formula. Bahwa ungkapan bisa menjadi cara sederhana komunikasi massa dengan menjawab pertanyaan seperti: Siapa (Who), Berkata Apa (Says What), melalui Saluran Apa (In Which Channel), Kepada Siapa (To Whom), Dengan Efek Apa? (With What Effect?)
Berangkat dari hal itu, komunikasi massa mestinya digunakan secara cerdas dan sehat, khususnya saat bermedia sosial karena memakai media sosial secara sehat berawal dari sendiri.
Berikutnya, narasumber lain dalam webinar, dosen UNU Al Gazhali Fatikhun mengatakan, komunikasi publik yang disampaikan melalui media massa dan media sosial memiliki beberapa karakter perbedaan.
Misalnya dalam media massa atau mainstream satu pihak dan pendengar cenderung lebih pasif. Beda halnya dengan media digital satu pihak, namun dengan sifat lebih terbuka sehingga pendengar bisa lebih aktif. “Dalam media mainstream interaksi antara sumber dan penerima terbatas, sedangkan media digital lebih bebas interaksinya,” tegas Fatikhun
Dimoderatori Fernand Tampubolon, webinar ini juga menghadirkan dua narasumber lain yakni Dosen Fisip Undip Semarang Agustin Rina Herawati, dan Pengamat Kebijakan Publik Digital Razi Sabardi, serta Nindy Gita selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment