Tanamkan Pancasila dan Kebhinnekaan, Antisipasi Konten Negatif di Dunia Digital
Batang - Berkembangnya teknologi pada era digital ini selain untuk penyebaran informasi, ternyata memberikan peluang bagi kelompok radikal untuk menyebarkan ideologinya.
Untuk itu penting bagi masyarakat memiliki digital skills, yakni kemampuan individu dalam mengetahui, memahami dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta sistem operasi digital, mulai dari website hingga beragam aplikasi di smartphone.
Hal tersebut dikatakan Digital Strategist Enthusiastic, Ilham Faris dalam webinar literasi digital dengan tema ”Antisipasi Radikalisme Digital” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada Sabtu (14/8/2021).
Ilham mengatakan untuk menangkal konten negatif baik itu radikalime maupun hoaks, pengguna digital harus mengenal atau menanamkan sikap Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam ruang digital.
Sila pertama, nilai utamanya adalah cinta saling menghormati perbedaan kepercayaan di ruang digital. Sila kedua, yang nilai utamanya yaitu kesetaraan memberlakukan orang lain dengan adil dan manusiawi.
Kemudian, sila ketiga memiliki nilai utama tentang harmoni untuk kepentingan Indonesia di atas kepentingan prabadi atau golongan tertenti. Selanjutnya, sila keempat, yaitu demokratis, memberikan kesempatan siapapun untuk bebas berekspresi dan berpendapat.
”Lalu untuk sila kelima, nilai utamanya adalah gotong royong membangun ruang digital yang aman dan etis bagi setiap pengguna,” kata dia.
Ilham mengungkapkan mengenai kondisi pengguna digital di Indonesia. Hasil riset Microsoft yang mengukur tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020 menempatkan Indonesia pada urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Tentu ini menyedihkan.
Dengan hasil tersebut, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan yang paling rendah di Asia Tenggara. ”Dari hasil survei microsoft pada medio April hingga Mei 2020, netizen Indonesia paling tidak sopan,” kata Ilham di depan 340-an partisipan webinar.
Di atas Indonesia, Vietnam berdiri pada peringkat ke-24. Sementara Thailand menempati peringkat ke-19 dan Filipina berada di peringkat ke-13. Survey berjudul 'Digital Civility Index (DCI)' itu diikuti oleh 16.000 responden di 32 negara. Microsoft menyampaikan ada 503 responden remaja dan dewasa yang terlibat dalam survei tersebut. Penelitian dilakukan mulai April dan Mei 2020
Sistem penilaian laporan tersebut berkisar dari skala nol hingga 100. Semakin tinggi skor maka semakin rendah kesopanan daring di negara tersebut. Hasilnya, skor kesopanan daring di Indonesia sendiri naik delapan poin, dari 67 pada tahun 2019 menjadi 76 pada tahun 2020.
Ilham mengungkapkan konten negatif salah satunya hoaks salah satunya banyak disebarkan melalui website. Menurutnya ada beberapa tujuan para pemilik suatu situs menyebarkan hoaks, seperti meningkatkan pengunjung website, memperbanyak pengikut sosial media, menjatuhkan pihak-pihak tertentu, mengobah pola pasar hingga memperbanyak fans atau pengikut di sosial media.
Menurut Ilham, ketika pengguna digital terlibat dalam penyebaran hoaks akan memberikan dampak-dampak seperi membuat orang tidak percaya, susah untuk mempercayai informasi yang sebenarnya, memutus silaturahmi dengan orang sekitar, membuat orang lain merasa direndahkan dan sanksi hukuman yang berdasarkan Undang-undang ITE.
Narasumber lain, Pemred PadasukaTV & Direktur Eksekutif ITF, Yusuf Mars mengatakan karakter asli masyarakat Indonesia yakni santun dan ramah. Namun ketika di media sosial, ada sebagian yang ditemukan menjadi mudah marah, egois, suka mencaci maki, intoleran, hingga ada yang menyebarkan konten intoleran, radikalisme, terorisme dan ekstremisme.
”Kegaduhan di media sosial ada kaitannya dengan kebabasan berpendapat pemilik akun media sosial,” katanya.
Menurutnya, penyebab orang memiliki sikap intoleran di media sosial yakni emosi yang labil, krisis identitas, literasi digital yang rendah dan berwawasan sempit.
Yusuf mengatakan, untuk memeranginya dilakukan dengan berbagai cara. Seperti dari sektor teknologi, dengan melindungi konten dan akses situs negatif melalui sistem penyaringan konten negatif yaitu trust positif.
Pemerintah juga telah berupaya untuk menekannya melalui pendekatan hukum, yaitu dalam UU ITE Pasal 27 sampai 29 yang menjelaskan mengenai perbuatan yang dilarang untuk disebarluaskan karena berisi informasi kesusilaan , perjudian, dan lainnya.
Yusuf menuturkan, pengguna digital pun bisa berpartisipasi untuk memerangi konten-konten intoleren itu. Seperti dengan membuat konten yang toleran.
Adapun hal yang perlu diperhatikan ketika akan membuat konten agama yang toleran yakni tidak memancing polemik dan persoalan yang menyinggung SARA. ”Jalankan nilai-nilai Pancasila dan Kebhinekaan,” ucapnya.
Kemudian merumuskan visi dan misi penyampaian pesan keagamaan yang memegang teguh pada landasan etik dan moral, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Lalu menjaga etika, yaitu membuat konten berisi pesan-pesan moral yang inklusif, tidak provokatif, tidak mengundang unsur kebencian, hoaks, pornografi, unsur intoleran, radikalisme dan ektremisme. ”Buat konten yang berisi konten positif karena tidak ada batasan yang melihat sosial media,” ucapnya.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Kurnia Tri Utami itu, juga menghadirkan narasumber Kasi kelembagaan Kementerian Agama Provinsi Jawa tengah, Nurkholis dan Kepala MAN 1 Surakarta, Slamet Budiyono, serta TV Presenter Ramadhinisr sebagai key opinion leader. (*)
Post a Comment