Siswa Rawan Terpapar Intoleransi dari Media Sosial
Temanggung – Era digital adalah masa ketika informasi mudah diperoleh dan diakses serta disebarluaskan melalui teknologi digital termasuk media sosial. Kemudahan itu ada dampak positif dan negatifnya.
“Kemudahan interaksi antar-manusia dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kaitannya dengan sistem pembelajaran, menjadikan siswa rawan terpapar oleh hal-hal yang terkait dengan budaya yang tidak kondusif, termasuk intoleransi,” ungkap Hartuti Purnaweni, Dosen Administrasi Publik FISIP Undip, Saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (12/10/2021).
Menurut dia, toleransi adalah sikap manusia untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan, baik antar-individu maupun kelompok. Secara etimologi, kata toleransi berasal dari bahasa latin, 'tolerare‘, yang maknanya adalah “sabar” dan “menahan diri”. Sedangkan dalam Bahasa Jawa berarti budaya tepa selira.
“Sikap toleran adalah sikap menghargai pendapat atau pemikiran orang lain yang berbeda dengan kita, saling tolong-menolong antar-sesama, hidup berdampingan tanpa memandang suku, ras, agama dan antar golongan, tidak mencela mereka yang berbeda,” kata dia.
Budaya itu yang sudah ada pada sila-sila Pancasila sebab itu hidup toleran merupakan keniscayaan dalam masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Adapun penerapan sikap toleransi di sekolah, lanjut dia, antara lain bisa berupa sikap atau tindakan tidak membuat gaduh suasana sekolah. Atau, menghargai perbedaan pendapat teman.
Bisa juga berupa mematuhi tata tertib sekolah, menghargai keyakinan dan agama teman, tidak membedakan suku, agama, ras, dalam menjalin pertemanan.
Selain didorong untuk mampu menguasai instrumen digital, pengguna teknologi juga wajib bertanggung jawab saat berkegiatan di dunia maya.
“Toleransi merupakan salah satu nilai penting yang perlu diterapkan oleh seluruh kalangan pada era digital ini. Keragaman multidimensi akan terasa indah jika diiringi sikap saling menghormati perbedaan,” jelasnya.
Ditambahkan, kemajuan teknologi internet dan media sosial ibarat pisau bermata dua, ada peluang sekaligus tantangan bagi pengembangan sikap toleransi di kalangan muda.
“Teknologi digital dapat diarahkan untuk hal positif yang mengembangkan sikap toleransi dan dialog di kalangan generasi muda. Semua pihak yakni orangtua, sekolah dan pendidik perlu membantu para generasi muda untuk memanfaatkan teknologi digital secara bijaksana,” saran dia.
Narasumber lainnya, Nurul Dewi Purwanti dari Departeman Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) mengakui sosial media merupakan favorit warganet Indonesia. Rata-rata waktu yang digunakan berselancar di media sosial mencapai 3 jam 16 menit.
Dia berharap media sosial digunakan secara bijak agar terhindari dari polarisasi kebencian maupun ujaran Kebencian di ranah daring.
Dipandu moderator Oony Wahyudi, webinar bertema ”Media Sosial sebagai Sarana Siswa dalam Meningkatkan Toleransi dan Demokrasi” ini juga dihadiri narasumber Ismita Saputri (Co-Founder Pena Enterprise), Ahmad Luthfi (Direktur Afada Temanggung), Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speech dan Bella Ashari (TV Presenter) sebagai Key Opinion Leader. (*)
Post a Comment