Peran Perempuan dan Milenial dalam Akses Digital, Penentu Perubahan Sosial
KUDUS: Adakah realitas data ini menunjukkan kalau bangsa kita sudah semakin makmur? Betapa tidak. Ternyata dari 274 juta penduduk, sudah 68 persen yang terakses internet dan 59 persen sudah mengakses medsos untuk beragam keperluan. Dan ternyata juga, cara aksesnya sebagian besar dengan sarana telepon pintar yang populasinya sudah 120 persen dari jumlah penduduk. Artinya, populasi ponsel pintar lebih banyak dari total penduduk Indonesia, yakni sebanyak 345 juta unit. Semakmur inikah Indonesia masa kini?
Survei Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) dari 2019 s.d. 2020 meng-update data yang unik dan spesifik. Berdasarkan gender, pengakses internet kita 51 persen didominasi oleh perempuan dan 49 persen laki-laki. Lalu, di kategori usia 0 s.d. 40 tahun, pengguna internet sudah tembus 60 persen.
”Artinya, pengguna internet usia milenial kini lebih banyak golongan usia matang. Dari situ terlihat besarnya pengaruh transformasi digital terhadap perilaku budaya yang berpotensi membawa efek dalam perubahan sosial,” ujar Ahmad Luthfie, direktur pondok pesantren Afa Ada Boyolali saat tampil dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Kudus, 8 Juli 2021.
Lebih jauh Luthfie mengurai dampak data APJII dalam webinar bertopik ”Dua Sisi Koin: Perubahan Sosial dalam Tranformasi Digital” yang dimoderatori oleh presenter Subkhi Abdul itu. Selain Luthfie, ada tiga pembicara lain: Heru Prasetya, media manager Seknas Gusdurian; Suwoko, jurnalis dan editor media online Kudus; Suharti, konselor LP2A dan dosen UNU Yogyakarta, serta Hilyani Hendranto, news presenter SEA Today yang tampil sebagai key opinion leader.
Untuk mengupas dampak populasi netizen dan spesifikasinya, Ahmad Luthfie membacanya dengan fakta yang terjadi 60 detik di dunia internet kita. Apa yang terjadi?
Dalam 60 detik di dunia digital kita, ternyata ada 2,4 juta orang mencari informasi di Google dan 69 ribu jam film ditonton orang di Netflix, lebih dari 38 ribu jam musik diputar dan didengar di Sportify, juga 347 ribu cuitan di twiter. Belum lagi, beragam hoaks dan beragam informasi negatif juga bermula dari cuitan twiter. Yang positif, terdapat 200 ribu dolar nilai transaksi di Amazon dalam semenit, ini sungguh fantastis,” urai Luthfie di depan ratusan peserta yang mengikuti diskusi secara daring ini.
Tapi, munculnya penilaian Microsoft yang menyebut netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara, menunjukkan netizen kita mulai mengabaikan perwujudan nilai positif dan ideologi Pancasila serta toleransi yang diajarkan Bhinneka Tunggal Ika.
”Gampang marah dan mengumpat di medsos. Belum lagi, apakah netizen kita bisa berkomentar dan menilai postingan dengan kalimat tidak menyakitkan hati pihak lain di internet? Saat tempo hari pelawak Kiwil nikah lagi dan istrinya cantik, banyak netizen komentar ’Kok mau sama Kiwil yang jelek wajahnya’. Komentar itu bukan cuma menyakitkan Kiwil, tapi juga anak istrinya. Hilang tata krama dan tepa selira, toleransi, tenggang rasa netizen kita,” ujar Suharti, prihatin.
Padahal, Heru Prasetya menyambung, kalau nilai positif dikembangkan, dengan aplikasi Halodok, misalnya, ketika kita sakit bisa berkomunikasi dan berkonsultasi dengan dokter, apa penyakit dan obat yang bisa didapat dengan cukup mengaktifkan aplikasi. ”Jawaban akurat dengan obat bisa kita dapat dan bayar dari rumah. Juga dengan jari, kita bisa panggil ojek ke rumah dan bayar tepat, tak mungkin nyasar dengan bantuan Gmap. Suatu perubahan sosial yang tak pernah terpikir sebelumnya,” urai Heru Prasetya.
Yang jelas, kalau 51 persen perempuan menggunakan ponsel untuk aktivitas medsos yang positif, Ahmad Luthfie yakin, akan berdampak dahsyat dalam membimbing dan mewujudkan generasi penerus yang cakap digital dan terjaga iman takwanya. ”Itu yang kita harapkan dan sungguh tak bisa dibayangkan kalau peran perempuan justru sebaliknya. Naudzubillah,” pungkas Luthfie. (*)
Post a Comment