Pendidikan Digital, Awalnya Dipaksa Akhirnya Terbiasa
Rembang: Hampir dua tahun pandemi Covid-19, dunia pendidikan di Indonesia dipaksa menjalani migrasi proses belajar mengajar yang semula dilakukan offline di dalam kelas konvensional dengan tatap muka fisik guru dan siswa. Tapi kini demi mencegah penularan virus, proses belajar dipaksa dimigrasikan ke dalam sistem online, menggunakan jaringan internet. Sehingga, komunikasi proses belajar secara fisik dihilangkan, pindah (sebagian) dengan smartphone yang diakses dari rumah.
Meski semula berat dan terpaksa, kini semakin terbiasa dan sebagian malah sudah merasa mudah dan nyaman. Kini, biasa kontak WA lalu guru dan dosen memberi pesan kita, lanjut di Google class room. Atau, sekolah mengundang rapat guru ketemu di google meeting.
”Semua jadi biasa. Banyak dosen dan guru menyiapkan konten materi pelajaran yang menarik dalam beragam platform, dari Youtube sampe Tiktok. Sehingga anak sekolah dan mahasiswa makin terbiasa belajar dengan beragam aplikasi yang menarik dengan beragam pilihan,” papar Ahmad Muam, dosen Bahasa Inggris Sekolah Vokasi UGM dalam webinar literasi digital gelaran Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Rembang, 5 Oktober 2021.
Di era digital, lanjut Ahmad Muam, sesuai namanya, digit artinya jempol jari kita. Jadi, segala proses interaksi dan komunikasi di dunia digital tergantung kelincahan dan kecerdasan berpikir si pemilik jempol dalam beraksi di atas smartphone. Jadi mengelola jempol kita agar tepat dan terjaga etika dalam berinteraksi dan menemukan informasi dan konten yang tepat dalam belajar di kelas online menjadi kunci sukses proses belajarnya.
”Tetap menjaga etika dan mampu mengelola informasi dan bisa memiliah dan memilih informasi yang dibutuhkan dalam menunjang proses belajar yang bijak dan cerdas menjadi penentu keberhasilan studi di era digital,” tutur Ahmad Muam di hadapan seratusan peserta yang mengikuti webinar secara daring.
Muam mengurai topik webinar berjudul ”Transformasi Digital untuk Pendidikan yang Lebih Bermutu”, dipandu oleh moderator Fikri Hadil yang juga menampilkan tiga pembicara lain: Dahlia, dosen STAIN Al Husein Magelang; Dr. Rd. Ahmad Buchori, dosen Fisip UNPAD Bandung, dan Athif Titah Amithuhu, redaktur media sastra online cerita santri.id, serta Brigita Ferlina, news presenter yang tampil sebagai key opinion leader.
Meski makin terbiasa, beberapa tolok ukur keberhasilan pendidikan di kelas dan kuliah online tetap mesti ada dengan beberapa kualifikasi agar semakin bermutu. Keamanan digital juga makin ditingkatkan. Jangan sampai peserta didik di kelas online malah terjadi kebocoran data pribadi saat ikuti kelas. Selain itu, kecakapan guru, dosen dan siswa dalam menerapkan banyak aplikasi belajar yang makin beragam juga mesti ditingkatkan.
Karena, banyak informasi dalam proses belajar referensi makin lengkap dan tak terbatas. Link literasi makin beragam. Siswa dan guru mesti berpacu makin berlomba untuk saling melengkapi dan mestinya makin luas literasi digitalnya. ”Kecakapan menerapkan aplikasi belajar juga mesti makin jago. Dosen, guru dan siswa mesti berkompetisi dalam suatu sinergi kolaboratif yang positif. Bersaing tapi tetap kritis dan positif memajukan ilmu pengetahuan di era yang makin tanpa batas dunia ilmunya,” urai Ahmad Buchori.
Cuma, pendidikan di era digital tak hanya dikejar di kelas. Athif Titah Amituhu menyarankan, di era digital yang tak mampu kuliah jangan minder. Ilmu dan kecakapan bisa diburu dari pengalaman. Kalau suka ternak atau kerajinan atau seni, di beragam platform banyak public figure sukses yang sering berbagi pengalaman di akun facebook atau istagram pribadi.
”Follow beliau dan tekun ikuti saat para maestro ternak sapi, ikan hias yang tren atau beragam pekebun buah durian atau sayur kualitas ekspor itu berbagi ilmu dan pengalaman. Kuliah, dan tekuni lalu praktikkan. Orang sukses bermula dari yang suka mencoba. Bukan terus cari ilmu tapi takut memulainya,” pungkas Athif mantap. (*)
Post a Comment