Modernisasi Agama Hindari Konflik Ruang Digital
Sragen – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar webinar literasi digital bagi masyarakat di Sragen, Jawa Tengah Jumat (16/8/21). Setiap tema diskusi dibahas oleh empat narasumber dari kacamata empat pilar literasi digital yang meliputi, budaya digital, keamanan digital, kecakapan digital dan etika digital.
Budaya digital yang terjadi sekarang, tak jarang menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Tak terkecuali dalam kehidupan beragama. Sehingga diperlukan sikap moderasi beragama.
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami ajaran agama dengan tidak ekstrim. Moderasi didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran keeskstriman. Hal ini terungkap dalam webinar “Moderasi Beragama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika RI terhadap warga Kabupaten Sragen.
Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Boyolali Hanif Hanani menjelaskan, program penguatan moderasi beragama yang sudah disusun harus dipastikan berjalan. Lalu menjadi prioritas yang mendesak dan tidak boleh dikalahkan, apalagi oleh keinginan pihak-pihak tertentu.
“Moderasi beragama penting karena bukan hanya menjadi program prioritas Kementerian Agama, melainkan sudah ditetapkan di RPJMN 2020-2024 dan menjadi program nasional,” jelas Hanif.
Moderasi beragama akan menentukan wajah masa depan Indonesia. Tulang punggung moderasi beragama semua warga negara Indonesia tanpa kecuali.
”Moderasi beragama ini memang baru di negara kita, namun dalam Islam sikap moderasi ini sudah lama adanya. Istilah moderasi dalam Islam dikenal dengan “wasathiyah”, bahkan umatnya mendapat julukan ummatan wasathan, yaitu menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil,” bebernya.
Ia mencontohkan, sikap moderasi beragama yang bisa diterapkan dalam negara multikultural diantaranya bisa dilakukan melalui menghormati pendapat orang lain; menghargai agama, suku, ras dan budaya lain; mengakui keberadaan orang lain; sikap toleransi serta tidak memaksa keinginan dengan cara kekerasan.
“Seperti yang telah kita ketahui bersama, Indonesia memiliki kultur budaya dan kepercayaan yang beragam, maka dari itu toleransi antar umat beragama sudah sepatutnya kita junjung tinggi untuk dijadikan satu solusi dalam mengatasi permasalahan umat beragama di Indonesia saat ini, yakni permasalahan krisis sikap toleransi yang tentunya menjadi tanggung jawab kita bersama,” terangnya.
Terkait era digital memiliki dampak negatif. Yakni terjadinya pergeseran kebiasaan berinteraksi di masyarakat. Pergeseran kebiasaan manusia dalam berinteraksi ini lah yang dapat mengantarkan pada disrupsi digital. Ilmu agama dapat dengan mudah diakses itu artinya semua orang dapat mengunggah hasil olah pikirnya ke media online meski pemikiran tersebut belum jelas sanadnya.
“Kini era disrupsi semakin memprihatinkan, hingga masuk pada sektor pemahaman agama. Padahal ajaran semua agama menginginkan hidup damai, moderat,menjaga kerukunan dan welas asih. Indonesia tetap menjaga kebersamaan dalam keberagam. Karena itu diperlukan moderasi agama di era digital,” tukasnya.
Pengawas Madrasah Kantor Kemenag Kabupaten Grobogan Suyanto menambahkan, jika sikap moderat beragama tidak diterapkan maka dapat memicu radikalisme. Adapun ciri-cirinya yakni mengklaim kebenaran tunggal, mengutamakan ibadah secara penampilan dan jihadis, menggunakan cara-cara kekerasan, mudah mengkafirkan orang lain, dan tertutup dengan masyarakat.
“Maka diperlukan solusi konstruktif saat memanfaatkan dunia digital sebagai referensi beragama,” ungkap Suyanto.
Koridor utama adalah sumber ilmunya, yaitu harus orang yang ahli dan kompeten di bidangnya. Ilmu-ilmu keislaman itu sangat luas wilayah cakupannya. Maka tulisan di internet itu harus berasal dari narasumber yang diakui kompetensinya. Karena banyak tulisan masalah agama di internet yang anonime, tak bertuan, tidak jelas siapa yang menuliskannya dan tidak ketahuan dari mana asalnya.
Lalu klarifikasi melalui sumber buku riil. Rujukan suatu tulisan ilmiyah itu tetap haruslah berupa buku dan bukan laman web yang bersifat maya. Maka klarifikasi sumber agama dengan teks riilnya.
"Terakhir tetap harus ada guru. Buku dan rujukan hanya alat dan media saja. Pada akhirnya untuk bisa menjadikan seseorang benar-benar berilmu secara sesungguhnya, proses belajar harus ada gurunya yang berupa manusia,” pungkas Suyanto.
Dipandu moderator Masayu Dewi, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Peneliti Paramadina Public Policy Septa Dinata, dan Khairul Anwar, serta anneke Liu selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment