Miliaran Informasi Bertebaran di Ruang Virtual, Serius hingga Sepele
Semarang – Dari beragam produk teknologi digital, satu yang sepertinya paling digandrungi adalah media sosial. Di sana tercipta ruang virtual yang menjadi ajang untuk berkomunikasi, bekerja dan berdiskusi. Miliaran informasi bertebaran di ruang virtual, mulai dari informasi politik, ekonomi, sosial dan budaya.
“Dari informasi yang serius hingga informasi yang sepele berkembang di ruang virtual,” ungkap Mochamad Aziz Nasution, Pemimpin Redaksi Channel9.id, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (27/9/2021).
Aziz menjelaskan, masing-masing produk memiliki ciri tersendiri. Facebook, misalnya, pengguna cenderung saling kenal terhubung karena pertemanan. Bisa juga untuk berbagi informasi dan berdiskusi orang per orang maupun kelompok.
Sedangkan Instagram terhubung karena pertemanan dan cenderung saling kenal satu sama lain. Dengan adanya live, instagram menjadi sarana diskusi yang sangat populer.
Kemudian, Youtube, sebagai sarana berbagi konten dan juga bisa dijadikan sarana diskusi yang intens dengan adanya live. Sementara Twitter terhubung karena kecenderungan persamaan persepsi dan ideologi, bisa saling kenal dan terafiliasi dengan pengguna yang lain.
Selain itu, juga jadi sarana untuk melihat dan saling berkomentar terhadap satu informasi yang berkembang sehingga menciptakan trend. Yang terakhir adalah Tiktok. Sarana ini untuk berbagi konten dalam bentuk video kepada pengguna yang lain.
Aneka ragam produk teknologi digital itu perlu disikapi. Menurut Aziz, dunia maya juga perlu etika digital yaitu kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital.
“Dalam dunia digital juga berlaku yang namanya netiket (network etiket). Netiket digunakan ketika kita berkomunikasi dan berinteraksi di media sosial,” tambahnya.
Tak lupa dia juga membagikan tips etika berdiskusi. Pertama, gunakanlah bahasa yang santun, baik dan benar agar terhindar dari kesalahpahaman. Kedua, menghargai pendapat orang lain. Selanjutnya kontrol konten yang masuk, jangan overposting dan gunakan referensi serta jauhi plagiasi.
Dia juga membagikan tips perlunya mawas diri di antaranya jauhi diskusi yang menyinggung masalah SARA dan isu sensitif, tidak mengumbar data pribadi, jauhi diskusi yang tidak bermutu, sepele dan receh, karena menghabiskan waktu dan kuota.
Satu yang tidak boleh dilupakan, selalu cek dan ricek kebenaran informasi yang berkembang di media sosial. Ingat, kata dia, jejak digital menunjukan siapa diri seseorang.
“Gunakan ruang publik sebagai sarana berdiskusi untuk menambah pengetahuan, meningkatkan keterampilan serta menyebarkan informasi yang positif dan inspiratif,” tandasnya.
Narasumber lainnya, Rifelly Dewi Astuti menjelaskan Indonesia merupakan negara majemuk dan multikultur terbesar. Dosen dan Peneliti di Departemen Manajemen FEB UI ini menyebutkan dengan luas wilayah terdiri 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 16.771 pulau, 1.331 suku dan 652 bahasa, maka sangat memerlukan etika digital.
Harapan dia warga digital mampu memproduksi konten-konten yang berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, kemudian ikut berpartisipasi aktif mendistribusikannya.
Dipandu moderator Bia Nabila, webinar bertema ”Ruang Diskusi Publik Melalui Platform Digital” kali ini juga menghadirkan narasumber Rizki Ayu Febriana (Business Coach UMKM), Heru Prasetia (Pegiat Literasi Digital) Hendar Prihadi (Walikota Semarang) sebagai Keynote Speaker, Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speaker dan Ayu Rachmah (Automotive Enthusiast) sebagai Key Opinion Leader. (*)
Post a Comment