Merdeka Belajar: Guru Bukan Segalanya, tapi Segalanya Masih Perlu Guru
Pemalang: Meski sempat tergagap dalam banyak hal, migrasi sistem pembelajaran di sekolah dari kelas tatap muka konvensional ke kelas online yang digelar dari rumah terhitung sukses terselenggara hampir dua tahun ini. Memang, dalam sistem baru yang berbasis jaringan internet dan bantuan smartphone, tahap baru merdeka belajar makin menemukan bentuk idealnya. Siswa tidak lagi menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber literasi dalam menambah ilmu pengetahuan. Tetapi, secara mandiri, siswa menambah sumber bacaan dengan mengakses banyak link literasi di ruang digital yang beragam dan tak terbatas.
Peneliti di Paramadina Public Policy Septa Dinata membenarkan, guru kini memang bukan segalanya sebagai sumber rujukan belajar siswa. Siswa lebih bebas menambah ilmunya. Malahan, dalam sistem sinkronus, guru bisa memberi materi, memberi tugas, dan ujian mata pelajaran, tapi sekaligus bisa mendapat respons langsung dari siswa.
”Guru juga bisa memberi nilai langsung pada tugas-tugas yang disetor, baik lewat beragam platform digital seperti Instagram bahkan Tiktok, dan dinilai realtime seusai disetor oleh siswa kepada gurunya dengan jaringan internet. Hemat, cepat dan efektif,” jelas Septa Dinata saat berbicara dalam Webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital, yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Pemalang, 29 Oktober 2021.
Tapi sejauh masih bersifat asinkronus, Septa melanjutkan, pola merdeka belajar belum bebas mandiri, dalam arti tak bisa lepas dari peran guru. Guru memang bukan segalanya dalam memberi ilmu. Tapi dalam mengakses link dan konten materi belajar, siswa tetap perlu peran guru sebagai fasilitator, memandu memilah dan memilihkan materi. ”Karena, siswa belum bisa dianggap bijak dan belum cukup bersikap kritis terhadap segala informasi dan link yang bakal dia konsumsi dalam proses belajarnya,” ujarnya.
Masih menurut Septa, belum jadi tradisi siswa mencari data dan info pembanding saat ketemu materi yang meragukan akuntabilitas dan kebenaranya. Siswa masih mudah percaya dan menganggap benar informasi di ruang digital, karena didapat dari teman atau sumber yang dia percaya. Tidak biasa cek dulu. ”Di sini peran guru masih sangat diperlukan, karena kecakapan guru dalam memilah dan milih konten belajar tetap lebih dijadikan garda terdepan. Menjamin semuanya terjaga positif dan tidak terpapar informasi bohong atau hoaks,” papar Septa.
Mengupas tema menarik: ”Pendidikan Online, Era Baru Merdeka Belajar”, webinar yang dibuka dengan keynote address Presiden Jokowi dan dilanjut pesan dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah Mustain Ahmad, tercatat diikuti 350-an peserta. Dipandu moderator Rara Tanjung yang ditemani entertainer Dimas Sakti Nugraha selaku key opinion leader, hadir tiga narasumber lain. Mereka adalah Siti Kusrini, Guru PAI SD Batursari 7; Moch Moizzudin, Koord Bidang Sistem Informasi PAI Kanwil Kemenag Jateng; dan Femykirana Wijaya, digital marketing strategys.
Moizzudin mengatakan, idealnya merdeka belajar memang baru maksimal kalau dengan sistem asinkronus, di mana siswa bertemu sistem, di mana materi dan jadwal waktu belajar, ujian, dilakukan tanpa guru. Siswa mandiri benar, tapi akan kurang perhatian dan bimbingan guru. Ini hanya mungkin di level perguruan tinggi.
”Tapi, idealnya bimbingan dosen dan pengawasan, meski asinkronus, tetap tak bisa dibiarkan tanpa bimbingan pendidik. Sebab, budi pekerti dan etika di ruang digital yang menjadi tanggung jawab siswa, begitu juga tatakrama sosial di luar sekolah sangat dibutuhkan sampai kapan pun,” pungkas Moch Moizzudin. (*)
Post a Comment