Menyikapi Ruang Digital Sebagai Ruang Budaya Baru
Cilacap – Pendiri Langgar.co mengatakan, dari perspektif budaya digital, ruang digital merupakan realitas kebudayaan baru yang tidak bisa kita tolak, dan selalu mengajak kita masuk ke dalamnya sehingga diperlukan cara pandang baru untuk meresponnya. Tantangannya, bagaimana mampu memahami logika era digital ini secara holistik agar kita tidak terjebak pada nalar konsumtif, individual dan intoleran yang tidak produktif.
”Selain itu, dalam kerangka nasionalisme kita akan dipecah belah karena terjadi polarisasi sosial di tengah masyarakat akibat kurangnya pemahaman atas penggunaan informasi digital secara benar dan bijak,” ujar Irfan Afifi saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertajuk ”Bersama Lawan Kabar Bohong (Hoaks)” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (15/9/2021).
Menurut Irfan Afifi, untuk mengarungi ruang digital maka kata kunci digital yang harus kita pahami bersama adalah teknologi untuk memudahkan bukan menyulitkan, teknologi mempertemukan bukan memisahkan, teknologi untuk mendidik bukan mencekik, teknologi untuk kebenaran bukan keonaran, teknologi untuk kebaikan bukan kerusuhan.
Ada prasyarat yang harus dipenuhi sebelum masuk ke dunia digital, ujar Irfan Afifi. Yakni, memahami literasi digital sebagai proses menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi untuk membantu tumbuh kembangnya kemanusiaan yang berdaulat lahir dan batin.
”Jangan sampai dunia digital justru mereduksi nilai-nilai kemanusiaan mengasingkan manusia dengan manusia yang lain. Manfaatkan ruang digital sebagai tempat untuk mencari informasi dan menemukan potensi diri. Berliterasi digital berarti usaha menerima dan mengolah teknologi untuk mengembangkan potensi di dalam diri,” ungkap Irfan Afifi kepada lebih dari 200 partisipan webinar.
Irfan Afifi menegaskan, gunakan teknologi untuk media mengaktualisasikan diri. Contohnya, Istagram untuk menampilkan gambar yang mengispirasi, Facebook untuk dokumentasi pengetahuan yang telah kita lalui, dan YouTube untuk menyampaikan karya yang kita miliki.
Bagi Irfan Afifi, lawan kabar bohong merupakan sikap pribadi hasil olah budi manusia di dunia real yang digeret masuk di dunia digital. Karena bagaimanapun aktor utama dari dunia digital adalah manusia maka kita harus senantiasa bisa memanusiakan manusia dimanapun berada. ”Akhirnya bermedia sosial secara berkebudayaan adalah jalan terbaik berselancar mengarungi realitas digital,” pungkasnya.
Berikutnya, dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Wisnu Martha Adiputra membedakan kabar bohong (hoaks) menjadi tiga, yakni misinformasi: atau informasi bohong atau tak tepat yang tersebar dengan tak sengaja; Disinformasi: informasi bohong atau tak tepat yang disebar dengan sengaja; Malinformasi: informasi yang tidak sepenuhnya bohong namun dikemas sedemikian rupa untuk merugikan pihak tertentu atau kondisi tertentu, dan tidak berorientasi pada kepentingan publik.
”Adapun anatomi hoaks, umumnya terdiri dari informasi 1: tidak faktual atau menyerang identitas, Informasi 2: tidak faktual atau menyerang identitas, Informasi 3: ajakan pada Tindakan,” sebut Wisnu.
Selanjutnya, hoaks biasanya berkaitan dengan politik identitas dan kondisi pasca-kebenaran. Formatnya tertulis, foto, gambar, meme, video, atau kombinasi, seringkali menggunakan link atau tautan yang sesungguhnya atau dari sumber yang kredibel walau tidak berhubungan, serta ajakan pada tindakan berpotensi mengambil data personal untuk digunakan lagi dan penipuan.
Ragam hoaks, lanjut Wisnu, umumnya terkait isu politik, bencana, kesehatan, dan kejahatan. Tujuannya, antara lain memberikan informasi yang tidak ada atau tidak faktual, mempengaruhi penilaian positif ataupun negatif, mempengaruhi emosi positif maupun negatif, mendistribusikan kembali kabar bohong, seringkali dengan memperkuat tensinya, melakukan tindakan yang cenderung negatif.
”Cara mengatasinya adalah dengan memperkuat literasi digital, mendorong hadirnya proses komunikasi digital yang etis, melindungi informasi personal dan membuka informasi publik, mengutamakan asal informasi dari sumber-sumber yang kredibel, mendorong pada rekonsiliasi antar kelompok bila terkait dengan hoaks yang melibatkan konflik,” jelas Wisnu Marta.
Dipandu moderator Thommy Rumahorbo, webinar kali ini menghadirkan narasumber Krisna Murti (Dosen Universitas Sriwijaya), Razi Sabardi (Pengamat Kebijakan Publik Digital), dan Mompreneur Tya Yuwono selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment