Menjaga Ruang Digital dari Dehumanisasi
BATANG – Dunia serba digital saat ini membuat manusia serba logis dalam berpikir. Dunia internet sebagai keberlanjutan dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan melahirkan banyak fenomena sosial dalam ilmu pengetahuan, juga lahir dua perbedaan pandangan. Dan di mata kaum muda milenial, kebenaran dalam ilmu tidak bisa diajarkan secara indoktrinasi oleh para guru tapi mesti ditemukan sendiri dalam proses pencarian.
“Sejak dulu selalu muncul pertentangan antara kebenaran science yang berkembang berdasar nalar melawan pseudo science yang berdasar tahayul, persangkaan atau pendapat pribadi yang dicarikan literasi pembenar seolah ilmiah,” ujar Farid Musfofa, dosen Fakultas Filsafat UGM.
Menurut Farid, dinamika pertentangan yang mutakhir misalnya terkait pandemi covid. Kebenaran science menyebut covid disebabkan virus, tapi pseudo science menyebut karena konspirasi jahat untuk merebut dunia, bahkan ada yang menyebut ini kutukan.
“Kita tahu mana yang kini menemukan kebenaran dari pertentangan itu. Nah, kini digitalisasi mencoba menjadi sarana untuk lebih mudah menjembatani ilmu. Mencoba menyinergikan dunia ilmu dan budaya, mendekatkan nalar antara yang semula berbeda antara mitos dan logika agar lebih mudah dicerna nalar manusia,” papar Farid Mustofa, saat memantik diskusi dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, 30 Juni lalu.
Masih menurut Farid, realitas sosial lain yang kini juga berkembang seiring berkembangnya teknologi digital dan mengubah perilaku peradaban manusia adalah dehumanisasi dan hyper reality. Dehumanisasi melahirkan kondisi manusia jauh dari lingkungan dan merasa asing.
“Kini manusia bisa makan minum tak terbebani saat menyaksikan di televisi ada derita dan sengsara orang, bahkan suasana perang berdarah justru dirasa seolah tantangan kehidupan yang sukses kalau dihindari, bukan melahirkan empati,” ujarnya.
Sementara hyper reality, lanjut Farid, manusia hidup dalam halusinasi. Misalnya kopi, yang mestinya bisa diseruput murah, kini karena digitalisasi dan modernitas, kalau minum kopi di Starbuck yang mesti ditebus puluhan ribu secangkir malah bangga dan merasa diri modern dan manusia yang maju. Ini karena tempelan simbol kepalsuan itu dan itu dirasa sebagai kemakmuran dan kebenaran. Di saat ilmu belum bisa menjawab, maka akan berkembang persangkaan untuk menjawab,” ungkap Farid di depan ratusan peserta webinar bertajuk “Literasi Digital untuk Melestarikan Pengetahuan tentang Warisan Budaya”.
Farid tak tampil sendiri. Dipandu moderator Zacky Ahmad, tampil pula secara daring pembicara lain: Antovany Reza Pahlevi (founder dari Pantoera.id, yang juga CEO Shinta VR), Muh Yunus Anies (dosen Ilmu Budaya UNS Solo), Krisno Wibowo (pemred situs berita online kabarkampus.co), juga tampil Indira Wibowo, Putri Duta Wisata 2017 yang tampil sebagai key opinion leader.
Terkait peran digitalisasi untuk melestarikan tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan, Yunus Anies mengatakan, dunia digital juga diharap turut menjaga warisan budaya nasional. “Banyaknya warisan budaya yang punah dan tidak berkesinambungannya kecintaan kaum muda pada budaya bangsa, khususnya budaya daerah, itu sangat memprihatinkan,” ujarnya.
Contoh paling sederhana, Indonesia sebenarnya punya 700-an bahasa daerah di belasan ribu suku bangsa yang beragam. Tapi Kemendikbud mencatat, saat ini sudah 11 bahasa daerah punah, atau istilah ilmiahnya dying languages. Kenapa bisa terjadi, karena tak ada generasi penerus yang melanjutkan memakai sebagai bahasa tutur.
“Orangtua malah bangga mengajarkan bahasa Indonesia bahkan Inggris pada anak, sehingga tak ada warisan budaya dalam bentuk bahasa yang melestarikan sebagai budaya tutur pada generasi berikut. Ini sebenarnya bisa diminimalisir dengan membuat dokumen digital vocabulary bahasa daerah untuk upaya pelestarian,” tutur Yunus Anies.
Menyambung Yunus, Krisno Wibowo menambahkan, dalam konteks pelestarian budaya, khususnya seputar tradisi Yogyakarta, pekerja seni Bambang Paningron sempat memproduksi konten dokumentasi budaya versi digital dan di-sharing di Youtube dan beberapa media sosial lainnya.
“Jadi, upaya dokumentasi budaya sebagai niatan warisan budaya digital dari beragam tarian dan kethoprak sudah dilakukan. Tapi jujur, dinas dan lembaga pemerintah kurang kuat keterlibatannya, sehingga belum bisa lanjut terus. Sungguh membahagiakan kalau niat pelestarian budaya secara digital ala Mas Paningron bisa dilanjutkan lagi dengan spirit baru,” cerita Krisno.
Masih dalam niatan pelestarian warisan budaya juga, Antovany Reza Pahlevi menyebut, baru setahun ini dirinya membangun situs Pantoera.id dengan mengajak lintas generasi di seputar kota Batang dalam kegiatan nyata.
“Kita videokan, bikin dokumen fotografi dan bikin literasi dan narasi menarik, lalu kita tayangkan di Pantoera.id agar warga Batang dan dunia lebih mengenal budaya dan beragam tradisi lokal Batang. Beragam bentuk budaya, jamasan keris, tradisi nelayan dan tarian, juga kuliner khas Batang, menjadi dokumen digital menarik yang bisa diwariskan dan abadi di dunia maya. Kerja kolaboratif yang konkret, semoga bisa langgeng dan bermanfaat nyata bagi upaya melestarikan warisan budaya Batang bagi anak cucu,” ujar Antovany, memungkas diskusi. (*)
Post a Comment