Menjaga Interaksi Di Belantara Internet
Kulon Progo - Peningkatan interaksi sosial budaya terjadi seiring bertumbuhnya angka pengguna internet di Indonesia umumnya, dan pengguna media sosial khususnya. Bentuk interaksi sosial budaya di era digital meliputi kerja sama atau kolaborasi, toleransi, kompetisi dan pertentangan maupun kontravensi.
”Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok,” ujar Slamet Rosyadi, pemimpin redaksi Journal of Public Administration ASIAN, pada acara webinar literasi digital suguhan Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kulon Progo, DIY, Kamis (1/7/2021).
Dalam diskusi virtual yang dipandu moderator Zacky Ahmad ini, juga menghadirkan narasumber Waryani Fajar (pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Kholilul Rahman (Ketua Pengasuh Asosiasi Pesantren), Aditia Purnomo (penulis lepas), dan musisi Nandra Candra selaku key opinion leader.
Slamet menyatakan, Indonesia memiliki tantangan kecakapan digital yang rendah dalam penggunaan teknologi. Ini dibuktikan dengan posisi Indonesia yang ada di peringkat 114 dunia, dan kedua terendah di G20 setelah India.
Kecakapan yang rendah ini, lanjut Slamet, masih harus dibarengi dengan fenomena banyaknya penyebaran hoaks di media sosial (92,4 persen), aplikasi chatting (62,8 persen). ”Jenis hoaks yang sering terjadi: sosial politik (91,8 persen), SARA (88,6 persen), kesehatan (41,2 persen), makanan dan minuman (32,6 persen),” papar Slamet.
Slamet juga menyinggung soal rendahnya kemampuan mengakses, mencari, menyaring dan memanfaatkan setiap data dan informasi yang diterima dan didistribusikan dari dan ke berbagai platform digital yang dimiliki.
”Ada kecenderungan gawai yang dimiliki justru menjadi alat untuk melakukan kejahatan atau mendatangkan bahaya untuk diri sendiri. Itu tercermin dalam 88,8 persen pernah menyebarkan berita hoaks, 68,4 meneruskan berita hoaks tanpa mempertimbangkan lebih lanjut apakah hoaks atau bukan,” urai Slamet.
Di akhir paparannya, Slamet mencatat setidaknya ada tiga penyebab terjadinya pelanggaran etis bermedia digital oleh netizen. Pertama, ketidakpastian: misalnya situasi pandemi yang tidak pasti membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber, sehingga terjadi kesimpangsiuran dan banjir informasi.
Kedua, tekanan ekonomi: kesulitan ekonomi selama pandemi, yang menjadi penyebab naiknya kasus penipuan. Sebagian orang akan mencari cara untuk mendapatkan uang, meski harus menipu orang lain.
”Ketiga, respons rasa frustasi: ujaran kebencian di media sosial, bisa jadi merupakan respons rasa frustasi yang dialami selama pandemi,” pungkas Slamet.
Sementara itu, narasumber lain Waryani Fajar mencoba menerangkan relasi sosial dan teknologi maupun hubungan budaya dengan teknologi, serta hubungan science dengan teknologi.
”Bertemunya masalah sosial dengan teknologi melahirkan cyber space, sedangkan pertemuan budaya dengan teknologi melahirkan techno culture. Sedangkan science berbeda dengan teknologi. Science adalah kerangka ilmu yang melahirkan teknologi. Teknologi adalah aplikasi dari science,” papar Fajar.
Post a Comment