Menjadi Pelopor Etika Berdigital di Tengah Masyarakat
Semarang – Penggunaan internet di masa pandemi Covid-19 meroket. Hal itu memberikan tantangan tersendiri di tengah isu keadaban para penggunanya (netizen) yang kian menurun. Teknologi telah mengacaukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting dari kualitas dan etika.
”Salah satu tantangan era digital, ialah kemudahan berkomunikasi dan berinteraksi hingga menyebabkan munculnya sikap spontanitas yang keluar begitu saja tanpa pikir panjang,” ujar dosen Universitas Sriwijaya Palembang, Krisna Murti saat menjadi pembicara webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa, 28 September 2021.
Dalam webinar yang mengangkat tema ”Menjadi Pelopor Masyarakat Digital” itu, Krisna menyebut persoalan etika di ruang digital menjadi persoalan paling krusial untuk diselesaikan. Hal itu mengingat hasil survei Microsoft yang menyebut netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Pasifik.
Benarkah netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Pasifik? Skor Indonesia memang naik delapan poin, dari 67 pada tahun 2019 menjadi 76 pada tahun 2020, tetapi Indonesia tetap menjadi negara dengan warga netizen paling tidak beradab di Asia Tenggara.
Survei Microsoft ini, lanjut Krisna, juga menunjukkan bahwa tingkat keberadaban netizen saat ini berada di titik terendah, jika dibandingkan dengan survei tahunan yang sama sejak tahun 2016. Microsoft melakukan survei tahunan ini guna mendorong netizen melakukan interaksi yang lebih sehat, aman dan saling menghormati.
”Ada tiga faktor yang mempengaruhi buruknya indeks Indonesia: Hoaks, scam, penipuan; ujaran kebencian; dan diskriminasi,” sebut Krisna.
Menurut Krisna Murti, salah satu cara memperbaiki skor ketidaksopanan Indonesia ialah menanamkan etika digital sebagai pedoman berperilaku di ruang digital kepada seluruh masayarakat. Kurangnya kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari, ikut mempengaruhi perolehan angka skor netizen Indonesia.
Agar tetap beretika di dunia maya, Krisna Murti menyarankan agar masyarakat digital mau menjaga kesopanan saat berada di ruang digital. Kemudian, tidak menyebar konten pornografi dan berbau SARA, selalu menyertakan fakta dan data saat beropini, memastikan kebenaran informasi dengan cara cek dan ricek sebelum share, serta menghargai hak cipta.
Berikutnya, Aktivis Pemuda Lintas Iman Novita Sari menyatakan, menjadi pelopor masyarakat digital berarti memiliki kemampuan kecakapan digital dalam mengelola informasi, komunikasi, memecahkan masalah, meciptakan informasi dan berpikir kritis.
”Hal itu bisa diperoleh dengan cara meningkatkan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital seperti alat komunikasi, jaringan internet, dan lainnya,” ujar Novita Sari.
Menurut Novita Sari, hal paling penting ketika berada di ruang digital ialah mampu berpikir kritis. Artinya berhati-hati, mengevaluasi dan memikirkan informasi yang disajikan atau diberikan kepada kita. Kemudian juga dapat menyaring segala informasi supaya terhindar dari informasi hoaks.
Di akhir paparannya, Novita Sari mengingatkan peserta diskusi dengan mengutip kalimat Bill Gates: ”Kemajuan teknologi didasarkan pada kesesuaiannya hingga tak anda sadari sudah menjadi bagian dari keseharian hidup”.
Dipandu moderator presenter Fikri Hadil, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Aditia Purnomo (Penulis dan Social Media Planner), Muhammad Achadi (CEO Jaring Pasar Nusantara), dan Astira Vern (Miss Eco International 1st RU 2018) selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment