Mengatasi Perundungan Digital yang Bisa Mengancam Siapa Saja
KARANGANYAR : Korban perilaku intimidasi dapat merasa sangat kewalahan sehingga mereka tidak tahu harus bagaimana menghentikannya. Peneliti Paramadina Public Policy Institute Septa Dinata menuturkan sebenarnya masih ada sejumlah langkah untuk membantu anda atau teman anda mengatasi hal ini.
“Yang pertama coba sebisa mungkin jangan pendam sendiri, ceritakan ke orang dewasa yang dapat dipercaya menyelesaikan persoalan anda,” kata Septa saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Pendidikan Bermutu untuk Generasi Anak Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (7/10/2021).
Kemudian yang kedua, lanjut Septa, jangan coba membalas perundungan itu melainkan kumpulkan saja buktinya bahwa mereka merundung.
“Yang ketiga coba blok pelakunya dari segala jenis akun media sosial yang memungkinkan dia menemukan anda, lalu keempat buat rencana keamanan atau safety plan agar perundungan itu bisa diantisipasi,” sebutnya.
Septa mengatakan, selain perundungan, yang juga harus menjadi kewaspadaan kita di dunia digital tak lain ialah kabar bohong atau hoaks yang meliputi misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian. Ujaran kebencian terkadang orang memposting konten yang dirancang untuk memicu kebencian dan kekerasan.
Adapun disinformasi merupakan tindakan disengaja seringkali untuk membingungkan atau memanipulasi orang melalui penyampaian informasi yang tidak jujur. Sedangkan misinformasi, yakni informasi yang menyesatkan dibuat atau disebarluaskan tanpa maksud manipulatif atau jahat.
“Contohnya adalah anggota keluarga yang membagikan informasi palsu di media sosial tanpa menyadari bahwa itu salah,” kata dia.
Agar terhindar dari kabar bohong itu Septa menyarankan jangan pernah berhenti membaca sampai di kepala berita saja. Coba tanya diri sendiri, apakah berita tersebut masuk akal dan banding-bandingkan dengan sumber pemberitaan lain. “Selalu tanya ahlinya jika bingung, dan gunakan fact checker,” kata dia.
Septa menambahkan, saat ini kita perlu mengembangkan keadaban digital untuk membantu menciptakan pengalaman daring yang lebih baik. Hiduplah dengan aturan emas. lihatlah sebelum membalas komentar atau pesan dan hargai perbedaan.
Narasumber lain webinar itu, Jafar Ahmad selaku Direktur Lembaga Survei IDEA Institute Indonesia menuturkan untuk membentuk budaya para milenial, lebih dulu mengenali ciri generasi ini.
“Ciri generasi milenial antara lain bisa percaya dengan konten atau testimoni perorangan ketimbang informasi satu arah,” kata dia.
Kemudian, lanjut Jafar, generasi milenial ‘wajib’ memiliki akun sosial media sebagai alat komunikasi dan pusat informasi. Kemudian milenial juga diketahui minat membacanya secara konvensional kini sudah menurun dan lebih memilih ponsel daripada televisi.“Generasi ini menjadikan Google sebagai keluarga dekat,” tegasnya.
Menurut Jafar, untuk membangun budaya milenial dan digital perlu berpijak bahwa identitas bangsa Indonesia yang tak lepas dari keberagaman agama. “Bangsa ini memiliki prinsip hidup rukun berdampingan, tingginya sikap toleran dan gotong royong, mementingkan ada interaksi dan pertemuan langsung serta tidak pernah menjadikan agama sebagai sumber peperangan,” kata Jafar.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber Kepala MAN Salatiga Handono, Kepala SMA Al Fitya School Tangerang Sri Winarni, serta dimoderatori Safiera Al Jufri juga Endri Agustian selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment