Menerapkan Pancasila Sebagai Benteng dari Paparan Paham Radikal
Kota Semarang – Kementerian Komunikasi dan Informatika RI kembali menggelar webinar literasi digital untuk masyarakat Kota Semarang, kali ini dengan membawa tema diskusi “Menguatkan Kebangsaan Antisipasi Radikalisme Digital”, Rabu (13/10/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari gerakan nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang bertujuan untuk mengajak masyarakat meningkatkan kecakapan dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Dimoderatori oleh Dimas Satria (master of ceremony), diskusi yang berlangsung pada siang ini juga diisi oleh empat narasumber: Leviane J.J Lotulung (dosen Universitas Sam Ratulangi Manado), Augustin Rina Herawati (dosen Universitas Diponegoro), Tri Yuningsih (dosen dosen Universitas Diponegoro), Arif Farizi (digital business Beta Media). Juga Mohwid (akademisi S3) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan tema diskusi dari sudut pandang empat pilar literasi digital: digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety.
Narasumber Leviane J.H Lotulung dalam kegiatan ini menunjukkan data tren penggunaan internet oleh warga Indonesia pada tahun 2021 berada pada persentase 73,7 persen dari total penduduk 274,9 juta jiwa penduduk. Jumlah tersebut juga diikuti dengan waktu penggunaan rata-rata internet yang hampir sembilan jam per harinya. Data tersebut menunjukkan bahwa budaya digital di Indonesia sudah bukan hal baru lagi.
Tidak bisa dimungkiri kehadiran internet dan kemajuan teknologi menghadirkan dikotomi, antara positif dan negatif terhadap disrupsi yang tengah terjadi. Tentu saja kehadiran TIK dan internet dapat dipandang secara positif sebagai peluang yang memberikan kemudahan dalam mengakses pendidikan, produktivitas, menjalin interaksi sosial, dan meningkatkan kesejahteraan.
Yang perlu disadari adalah negara Indonesia mempunyai potensi SDM yang luar biasa dan pekat dengan multukultural. Namun hal tersebut sekaligus menjadi tantangan sebab keberagaman tersebut juga rentan terjadi perpecahan jika tidak menanamkan prinsip Pancasila.
“Dasar negara Pancasila sebaiknya tidak hanya menjadi slogan tetapi bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Menjadi pandangan hidup, cara pikir, dan konten yang kita hasilkan harus berdasarkan Pancasila. Ini sekaligus menjadi benteng agar tidak mudah tercemar dengan radikalisme yang mudah sekali masuk melalui saluran media sosial,” jelas Leviane J.H Lotulung kepada 200-an peserta diskusi.
Membudayakan Pancasila sebagai landasan dalam beraktivitas di ruang digital yaitu saling menghormati perbedaan keyakinan, mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban, menjunjung nilai kebersamaan Indonesia, mengutamakan musyawarah demokrasi, dan bergotong royong saling peduli.
“Jadikan ruang digital sebagai praktik berbudaya melalui aktivitas sehari-hari. Menyebarkan konten positif, mempromosikan gaya hidup berkualitas, menciptakan ruang diskusi yang sehat, berkomunikasi dengan santun dan berinteraksi dengan bermartabat, saling menghormati dan menguatkan harmoni dan kebersamaan,” ujarnya.
Augustin Rina Herawati menambahkan isu radikalisme merupakan ancaman di ruang digital dan media sosial menjadi sarana paling efektif bagi orang yang ingin menyebarkan paham radikalisme. Karena jumlah pengguna yang tinggi, menerima variasi fitur konten dan tidak ada pengawasan ketat. Maka dari itu warganet butuh kecakapan digital agar tidak terpapar paham radikal.
Radikalisme muncul karena sejumlah faktor, mulai dari sisi sosial politik, emosi keagamaan, kultural, dan kebijakan pemerintah.
Dalam memberantas radikalisme pemerintah telah melakukan tindakan pencegahan dengan mengembangkan kerjasama multipihak untuk menangkal konten negatif di internet, khususnya konten yang mengandung radikalisme, terorisme. Dari Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika juga mengembangkan strategi kerjasama dengan platform media sosial dan penyelenggara sistem elektronik untuk menghalau konten-konten negatif.
“Dari sekolah dan instansi perlu memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, khususnya kepada para generasi muda yang pemikirannya masih mengembara karena rasa ingin tahu. Mengedukasi masyarakat untuk meminimalisir kesenjangan sosial, dan berperan aktif melapor ketika mengetahui atau melihat aksi-aksi pada konten negatif. Mampu menyaring informasi yang didapat untuk mencegah tindakan radikalisme,” jelasnya. (*)
Post a Comment