Mempertahan Literasi Baca Menghadapi Tranformasi Digital
Kota Semarang – Di era transformasi digital, kecakapan literasi digital merupakan satu kecakapan yang mesti dikuasai oleh warga digital. Peningkatan literasi digital masyarakat oleh Kementerian Kominfo RI dilaksanakan dalam gerakan nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital. Dalam format webinar, Kominfo mengajak masyarakat memahami pilar literasi digital:digital ethics, digital culture, digital skill, digital safety. Pada kesempatan ini mengajak masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, berdiskusi dengan tema “Transformasi Digital untuk Meningkatkan Kualitas Belajar Siswa di Masa PTM”.
Diskusi dipandu oleh penari tradisional Ayu Perwari dengan menghadirkan empat narasumber: Imam Wicaksono (praktisi pendidikan), Ahmad Sururi (dosen Universitas Serang Raya), Achmamd Uzair (dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Tri Yuningsih (dosen Universitas Diponegoro). Serta Arya Purnama (putra pariwisata nusantara 2018) sebagai key opinion leader.
Praktisi pendidikan Imam Wicaksono mengatakan salah satu bentuk transformasi digital adalah pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang semula dilakukan secara tatap muka langsung, saat ini KBM berlangsung melalui ranah digital. Dalam prosesnya kecakapan literasi digital kemudian menjadi hal fundamental, selain untuk meningkatkan kemampuan penggunaan media digital juga harus mampu menggunakan informasi yang disajikan secara digital.
Tentunya transformasi digital mempunyai plus dan minusnya. Karena semakin canggih teknologi bahaya terselubung di dalamnya juga menjadi ancaman, terlebih ruang digital memberikan akses bebas untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi. Yang menjadi perhatian ketika ruang digital menjadi banjir informasi adalah munculnya berbagai informasi yang tidak semuanya mengandung kebenaran. Disinilah tantangan budaya membaca atau literasi baca mesti dipertahankan bahkan mesti terus diasah untuk bisa memilih dan memilah informasi.
“Hoaks menjadi salah satu ancaman besar di era transformasi, karena kehadiran hoaks ini dibuat dengan berbagai motif. Demi keuntungan, untuk melakukan provokasi, serta propaganda adalah beberapa alasannya. Sehingga kemudian budaya membaca itu bermanfaat untuk dapat mendeteksi hoaks. Hoaks biasanya diproduksi dengan judul yang sensasional untuk mencari perhatian, akun pengunggah atau medianya samar, dan konten beritanya tidak berimbang,” jelas Imam Wicaksono kepada 200-an peserta webinar.
Karena hoaks dibuat dengan merekayasa informasi dan disamarkan hingga laiknya kebenaran, orang cenderung tidak menyebarkan karena diterima dari orang terpercaya seperti tokoh publik bahkan dari kalangan akademis. Informasinya dinilai benar dan bermanfaat sehingga tanpa ragu disebar tanpa cek dahulu kebenarannya.
Harus bijak menghadapi hoaks, bersikap bijak karena reaksi berlebihan akan membuat penilaian tidak obyektif. Cek sumber berita, data dan fakta, dan keberimbangan konten. Jika kredibilitas dan validitas informasi meragukan lebih baik tidak disebarkan dan ambil aksi untuk melaporkan melalui fitur media sosial, atau melalui kanal aduan milik Kominfo.
“Pada akhirnya peran orang tua adalah yang utama dalam menjaga anak dari paparan negatif dunia digital. Perlu keteladanan, pengorbanan hingga sikap positif dan bijaksana yang konsisten untuk mengedukasi anak tentang keamanan di ruang digital,” jelasnya.
Sepakat dengan narasumber sebelumnya, Ahmad Sururi menambahkan bahwa ruang digital butuh kecakapan untuk menyeleksi, memahami, menganalisis, memverifikasi, mengevaluasi. Kemudian mendistribusikan, memproduksi, partisipasi, dan kolaborasi. Sebab informasi di era transformasi tidak hanya dapat ditemukan melalui situs belajar tetapi juga melalui ruang-ruang interaksi sosial seperti media sosial dan aplikasi percakapan.
“Ketika menghadapi beragam informasi kita harus mampu menyeleksi, memahami, dan menganalisisnya. Pastikan untuk memahami informasinya terlebih dahulu, kemudian dianalisis untuk memilah dan memilihnya. Di sini kecakapan berpikir kritis dan kreatif sangat diperlukan untuk memastikan informasi yang akan digunakan untuk belajara itu bermanfaat, tidak mengandung risiko keamanan,” jelasnya.
Selain itu ada kompetensi yang mesti dibangun di era abad 21 yaitu kritis, kreatif, dan komunikatif dan kolaboratif. Keempat kompetensi ini jika diterapkan pada pembelajaran dapat mendorong murid untuk tidak hanya menyelesaikan masalah tetapi juga merumuskan masalah, mendorong siswa untuk dapat mengambil keputusan, dan bekerjasama menyelesaikan masalah. (*)
Post a Comment