Membudayakan Nilai Pancasila Dalam Tiap Aktivitas Digital
WONOGIRI: Praktisi Pendidikan Henny Probowati menuturkan
perkembangan budaya digital sangat ditentukan oleh penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Budaya digital menjadi barometer generasi milenial, generasi Z, di mana budaya digital ini memunculkan gaya hidup dan adaptasi baru," kata Henny saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema "Saring sebelum sharing ke media sosial" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Selasa (19/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Henny mengungkap
digital culture akan membantu individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
"Ada banyak dampak yang ditimbulkan jika kurang paham terhadap nilai-nilai Pancasila di era digitalisasi," kata Henny. Antara lain pengguna tidak akan mampu memahami batasan kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, atau provokasi yang mengarah pada segregasi sosial. Baik perpecahan atau polarisasi di ruang digital.
"Individu juga tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi digital," kata dia.
Oleh sebab itu, lanjut Henny, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika perlu sebagai landasan kecakapan digital dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara. Ini hanya dapat terjadi dalam proses digitalisasi kebudayaan itu sendiri.
"Khususnya melalui pemanfaatan teknologi informasi komunikasi yang dilandasi pengetahuan mendasar untuk mendorong perilaku mencintai produk dalam negeri dan kegiatan produktif lainnya," tegas Henny.
Henny menyatakan, perlunya menjadi warga negara digital yang Pancasilais di era ini. Dengan berpikir kritis, saring sebelum sharing dan meminimalisir unfollow, unfriend dan block untuk terhindar dari Echo Chamber dan Filter Bubble di media sosial.
"Menjadi masyarakat digital yang sesuai Pancasila itu yang paham nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika di ruang digital," kata dia. Termasuk dalam memproduksi konten dan distribusinya, juga berlandaskan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di ruang digital.
"Jadi dalam mengamplifikasi pesan, lalu direpresentasikan dalam simbol atau ikon, termasuk komentar, subscribe, follow, mengunggah ulang, repost," kata dia.
Narasumber lain webinar itu, Choirul Fajri selaku Kepala biro Kemahasiswaan Universitas Ahmad Dahlan mengatakan, ancaman penggunaan internet terklasifikasi dalam berbagai bentuk. Mulai hoaks, radikalisme, penipuan, pornografi, bullying, prostitusi, sinisme, SARA, ujaran kebencian, hingga narkoba.
"Problem teknologi digital itu masih ada polemik, antara proses produksi dan distribusi pesan. Orang jauh lebih berani saat ini dan money oriented, meski kurang maksimalnya proses verifikasi content," kata dia.
Sehingga solusinya tak lain literasi media digital masih perlu terus digalakkan. "Perlu pula regulasi yang jelas melindungi berbagai kepentingan, hukuman bukan hanya kepada pelaku tapi juga platform media digital yang digunakan," tegasnya.
Webinar itu juga menghadirkan narasumber Eko Sugiono (digital marketer dari GCoach, Witono (Tim pengembang Konten Dinas P dan K Wonogiri), serta dimoderatori Ayu Perwari serta Dibyo Primus selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment