Memahami Karakteristik Masyarakat Digital Dari Lingkup Terdekat
CILACAP: Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta Yonathan Dri Handarkho menuturkan penting bagi setiap pengguna digital untuk mengetahui dan memahami karakter masyarakat di lingkungannya dalam menerima informasi di media sosial.
“Masyarakat kita Indonesia termasuk di dalam collectivist society atau masyarakat yang cenderung untuk mudah merespon dan mengikuti pendapat dan ide dari sekitar,” kata Yonathan saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Adaptasi Empat Pilar Literasi Digital untuk Siswa” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (1/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Yonathan menuturkan dengan karakteristik collectivist society itu, dimana kecenderungan individu merespon dan menilai informasi di media sosial dipengaruhi oleh lingkungan dimana mereka bertempat tinggal. Yonathan pun merujuk social impact theory atau teori dampak sosial, di mana kualitas informasi sering dinilai berdasarkan kualitas dari pemberi atau sumber informasi daripada isinya.
“Kualitas informasi tersebut diukur biasanya berdasar aspek number atau berapa jumlah orang yang memberikan informasi tersebut dan berapa kali informasi tersebut dibagikan atau berapa jumlah like, bisa juga dari kecenderungan merespon dan menganggap informasi yang populer atau viral sebagai sebuah kebenaran,” kata dia.
Yonathan melanjutkan kualitas informasi di era digital ini juga diukur dari aspek familiarity. Yakni soal kedekatan dengan orang yang memberi informasi. “Hubungan kedekatan dengan pemberi informasi bisa sahabat, keluarga, pacar, rekan kerja cenderung dianggap sebagai sebuah kebenaran,” kata dia.
Namun dalam karakter masyarakat kolektif ini kualitas informasi juga tak jarang diukur berdasarkan aspek emosional. Misalnya informasi berasal dari orang yang kita idolakan, influencer atau tokoh. “Ada kecenderungan merespon dan menangkap informasi dari orang yang kita kagumi atau idolakan atau berpengaruh ini sebagai sebuah kebenaran,” kata dia.
Yonathan mewanti-wanti, jika kita tidak berhati-hati merespon informasi terkait hal-hal yang bersifat sensitif khususnya di media sosial jelas dapat berpotensi merugikan masyarakat. Misalnya ada kasus seorang anak yang mengungkap bahwa ayahnya meninggal dunia usai percaya hoaks soal Covid-19.
“Di sinilah kehidupan berinternet kita harus bisa memfilter informasi sebelum meresponnya, salah satunya dengan menahan diri, tanyakan kepada diri sendiri, jangan biarkan emosi mengambil alih akal sehat,” kata dia.
Narasumber lain webinar itu, Bambang Barata Aji selaku ketua Yayasan Dalang Nawan Banyumas menuturkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terasa berlari cepat menuntut orang untuk mengikuti derap langkahnya.
“Kemampuan beradaptasi dalam situasi saat ini menjadi kunci sukses untuk bertahan dan berkembang, bagaimana kapabilitas pengetahuan bersanding dengan adab,” kata Bambang.
Menurut Bambang, langkah beradaptasi dengan pergerakan teknologi informasi ini masih jadi impian Indonesia melihat sejumlah indikator. Seperti temuan Microsoft tahun 2020 yang menobatkan netizen Indonesia menjadi warganet paling tidak sopan se Asia Pasifik.
“Kondisi kita, literasi digital Indonesia saat ini pun berada pada peringkat 56 dari 63 negara padahal dari survei, orang Indonesia mengakses internet rata-rata 8 jam 52 menit,” kata dia.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber lain seperti Kepala MTsN 5 Sragen Muawanatul Badriyah, peneliti kebijakan publik Paramadina Septa Dinata serta dimoderatori Filari Hadil juga Suci Patia selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment