Memahami Falsafah Jawa untuk Bermedia Digital dengan Bijak dan Bersahabat
Kota Yogyakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menggelar webinar literasi digital untuk masyarakat Kota Yogyakarta dengan tema "Bermedia Sosial yang Bijak dan Bersahabat", Selasa (19/10/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari gerakan nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Entertainer Zacky Ahmad memandu acara dengan menghadirkan empat pemateri: praktisi pendidikan Anggraini Hermana, CEO Jogjania.com Jota Eko Hapsoro, CEO Namaste.id Albertus Indratno, art enthusiast Mathory Brilyan. Serta tv presenter Venabella Arin sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan tema diskusi dari sudut pandang empat pilar literasi digital: digital ethics, digital culture, digital safety, dan digital skills.
Narasumber Albertus Indratno mengatakan menjadi warganet yang bijak dan bersahabat adalah dengan menerapkan etika berkomunikasi. Ia mengatakan warganet Indonesia cenderung mudah berkata kasar di media sosial, sedangkan di dunia nyata cenderung dapat menahan diri. Alasan dibalik fenomena tersebut karena di dunia nyata ada orang lain yg akan secara langsung menegur ketika berujar tidak baik, sedang di ruang digital hanya ada diri pengguna yang menjadi batas atau pengontrol dalam komunikasi.
"Media sosial dari sisi etika itu terdapat tata krama, kesopanan, kebaikan, dan budi pekerti. Kalau tidak bisa melakukan hal tersebut berarti melanggar etika itu tadi," ujar Albertus Indratno kepada 600-an peserta webinar.
Albertus menyebutkan etika bermedia sosial menganut budaya Jawa di antaranya adalah atiku resik kontenku apik artinya konten yang dibuat adalah refleksi diri penggunanya, bersikap andhap asor atau rendah hati. Menang tanpa ngasorke atau tidak mudah merendahkan orang lain untuk mengunggulkan diri sendiri.
"Etika bermedia sosial juga tumindak kanthi duga lan prayoga atau dalam bertindak di ruang digital mestilah harus dipikir dan dipertimbangkan lebih dulu, dan nandur kebecikan atau selalu menebar kebaikan di ruang digital," imbuhnya.
Disisi lain Mathori Brilyan mengajak masyarakat untuk menikmati proses adaptasi dengan kemajuan teknologi sekaligus menjadi sarana untuk lebih mengenal ruang digital. Ruang digital menjadi sarana baru untuk berjejaring dan silaturahmi, menambah ilmu pengetahuan dan meluaskan wawasan.
Media sosial menjadi sarana yang cukup efektif untuk menyambung silaturahmi. Dan untuk bermedia dengan bijak dan bersahabat mestinya mampu menumbuhkan empati dengan niat untuk dapat memberdayakan orang lain. "Kunci bagaimana kita mampu bijak dan bersahabat adalah ketika berinteraksi dengan pengguna media digital menggunakan prinsip memanusiakan manusia. Menyapa dengan baik, menghargai pendapat orang lain, dan memberikan ruang untuk menyampaikan pendapat," jelas Mathori.
Toleransi di ruang digital perlu dibudayakan sebagaimana ketika di dunia nyata. Toleransi menjadi kunci untuk bermedia secara bersahabat dengan menanamkan rasa welas asih. Toleransi juga menjadi salah satu nilai yang diajarkan oleh Pancasila, sebagai bagian warga digital yang juga warga Indonesia maka wajib untuk mengaplikasikan nilai toleransi saat berinteraksi di ruang digital.
"Bermedia dengan berpedoman pada prinsip budaya ajining diri ana ing lathi. Perlu berhati hati ketika berkomentar atau mengunggah konten karena akan ada jejak digital yang kita tinggalkan. Pertimbangkan jarak jangka panjang dari aktivitas digital kita, karena apa yang kita lakukan itu adalah refleksi kita," imbuhnya.
Namun dari setiap aktivitas digital itu yang tidak kalah penting adalah mengambil waktu untuk berefleksi untuk menyeimbangkan antara kesehatan fisik dan mental. Karena penggunaan teknologi dalam keseharian akan memberikan candu tersendiri. (*)
Post a Comment