Medsos wadah demokrasi, penyaluran kebuntuan sosial
Purworejo : Media sosial sebagai wadah demokrasi sejatinya merupakan akibat meluasnya jaringan internet yang menyediakan beragam platform seperti facebook, twitter, instagram, dan sebagainya.
Kehadiran media sosial oleh sebagian besar kalangan juga dianggap mampu menjalankan peran sebagai sarana penyaluran kebuntuan sosial: baik peran sebagai media aspirasi maupun peran kontrol sosial.
”Bahkan, orang yang pendiam dan introvert di dunia nyata sekalipun cenderung menggunakan media sosial sebagai sarana peluapan emosi dan pikirannya,” ujar Irfan Bahtiar pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (27/7/2021).
Pemerhati media sosial itu berbicara bersama narasumber lain: Fakhriy Dinansyah (Co-Founder Localin), Titok Hariyanto (Alterasi Indonesia), Irfan Afifi (Budayawan & Founder Langgar.co), dan Oka Fahreza selaku key opinion leader dalam diskusi yang dipandu moderator Rara Tanjung.
Dalam webinar bertajuk ”Media Sosial sebagai Wadah Demokrasi” itu, Irfan juga menyampaikan peran media sosial sebagai media sarana sosialisasi, edukasi, dan partisipasi publik seperti yang pernah dilakakukan KPU dalam hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilu legislatif (pileg), maupun pemilihan presiden (pilpres).
”Sosialisasi tahapan pemilihan umum (pilkada, pileg, pilpres) oleh KPU/KPUD hampir semuanya memanfaatkan media digital termasuk medsos. Bahkan proses perhitungan suara pun memanfaatkan jaringan internet,” ungkap Irfan.
Namun, kata Irfan, media sosial juga tak lepas dari dampak positif atau negatifnya ketika sudah diaplikasikan untuk bidang tertentu. Dampak positif media sosial bagi pelaksanaan proses demokrasi antara lain, memudahkan kita berhubungan jarak jauh, memudahkan mendapat kabar terbaru secara cepat, sebagai sumber belajar, bisa digunakan sebagai media untuk melakukan kampanye.
”Dampak negatifnya, hoaks, fake news (kabar palsu), dan kabar keliru (false news), bahkan dalam pemilu dijadikan sarana untuk kampanye hitam (black campaign) dengan tujuan menjatuhkan lawan,” jelas Irfan.
Untuk mewujudkan peran media sosial sebagai wadah demokrasi, lanjut Irfan, tantangannya ialah keakuratan sebuah berita. Lalu, mewaspadai munculnya fake account dan buzzer, budaya latah, meningkatkan budaya baca (literasi) masyarakat.
Berikutnya, budayawan Irfan Afifi menyatakan, dasar demokrasi kita sebenarnya sudah tertulis dalam sila keempat Pancasila. Demokrasi kita bukanlah demokrasi liberal tapi musyawarah. Budaya demokrasi kita tidak mengenal voting tapi bermusyawarah untuk mencari kebenaran menuju keadilan dan kesejahteraan.
”Kebijaksanaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pancasila artinya bisa menakar kebenaran pada tempatnya. Kebenaran orang awam tentu berbeda dengan orang yang pendidikan tinggi,” ujar Afifi.
Dalam paparannya, Afifi juga bicara terkait prinsip kebebasan yang harus disertai tanggung jawab. Ia menyatakan, kebebasan itu tidak ada ketakutan untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat.
”Batas kebebasan adalah hak orang lain. Kuncinya saling menghargai dan hormat menghormati. Namun, kebebasan juga harus patuh dengan nilai-nilai hukum, budaya dan norma. Karena pemandu bermedia sosial tak hanya hukum, tapi juga norma dan nilai,” tandas Afifi. (*)
Post a Comment