Mau ke Mana Demokrasi Indonesia di Tangan Generasi Milenial dan Z
Salatiga: Robert A Dahl, guru besar Yale University, seperti dikutip Yesaya Tiluata, anggota Bawaslu Kota Salatiga Divisi Data Informasi, menyatakan bahwa prinsip demokrasi yang mesti ada dalam pemerintah adalah adanya hak memilik dan dipilih secara bebas dari ancaman. Adanya akses informasi yang terbuka, juga kebebasan menyampaikan pendapat dan aspirasi lewat beragam saluran tanpa tekanan.
"Dan terpenting, adanya kontrol atas keputusan pemerintah. Prinsip itu terus kita adopsi dan coba wujudkan dalam kehidupan demokrasi kita walau belum sempurna," ujar Yesaya Tiluata saat berbicara dalam webinar literasi digital Indonesia Makin Cakap Digital gelaran Kementerian Kominfo untuk warga Kota Salatiga, 11 Oktober 2021.
Memantik diskusi bertopik "Bangun Demokrasi di Era Digital” yang diikuti ratusan peserta secara daring dari seputar kota Salatiga, Yesaya tampil dipandu moderator, Zacky Ahmad dan key opinion leader musisi Sherrin Thania. Selain mereka, ada tiga pembicara lain, yakni Rahmad Alfian Pranowodan Taufik Saputra fasilitator digital safety dari Kaizen Room dan Yulianto Sudrajat.
Lalu, bagaimana peran penting kaum milenia dalam membangun demokrasi, khususnya menghadapi Pemilu 2024?
“Yang jelas, update sensus penduduk 2020 kita kutip BPS, generasi milenia dan Z akan mendominasi suara pada Pemilu 2024. Tidak main-main, angkanya mencapai 54 persen dari total suara pemilu mendatang. Diharapkan, dengan begitu akan meningkatkan angka partisipasi pemilih pada pemilu. Dan, mungkinkah dengan kecakapan digital para milenia pemilu mendatang bisa digelar secara elektronik alias online system mengingat umumnya pemilih sudah kategori cakap digital?," tanya Yesaya.
Jadi, terkait pertanyaan mau dibawa ke mana demokrasi di tangan kaum milenial, menurut Yesaya, masih kita tunggu bersama pada pemilu mendatang adakah ada penyegaran pada hasil pilihannya.
Tingginya posisi kaum milenial yang punya peran penting dalam penentuan suara membuat Bawaslu perlu berbagi peran seperti Kominfo di masa kampanye pemilu. Dalam Perbawaslu No. 28 tahun 2018, Bawaslu diberi tugas ikut mengawasi pelaksanan kampanye yang dilarang dilakukan di medsos. Jadi kalau milenia memahami, tak terjerat larangan itu. Bawaslu diizinkan dan diberi jalur khusus untuk melaporkan konten negatif atau kampanye negatif di media sosial, wabil khusus di Facebook, Instagram dan Twitter.
"Bawaslu juga diberi izin dan boleh melaporkan konten-konten yang menebarkan kebencian, menghasut dan memprovokasi, mengacaukan jalannya pemilu lewat media sosial. Jadi, Bawaslu ternyata menemukan akun-akun yang dinilai menebarkan kebencian selama proses kampanye dan jelang pemilu, maka Bawaslu boleh meminta Kominfo untuk memblokir. Jadi, hati-hati rekan-rekan, jangan sembarangan membuat konten negatif yang berpotensi merusak jalannya pemilu," pesan Yesaya, serius.
Yang jelas, etika ruang digital sudah mengajarkan netiket bagi para netizen agar tak sembarangan membagi pesan informasi yang belum dicek keakuratan informasinya. “Biasakan klik aplikasi cek fakta dan aplikasi anti hoaks di Mafindo atau Google, agar kita juga aman dari ancaman tudingan penyebar hoaks yang diatur UU ITE No. 19 tahun 2016 dengan ancaman serius. Asal kebiasaan itu jadi kebiasaan yang selalu kita lakukan, kita akan selalu merasa aman dan nyaman menikmati ruang digital dan ikut membangun demokrasi di ruang digital. Selalu sehat dan bermanfaat buat semua," pesan Taufik Saputra. (*)
Post a Comment