Lawan Hoaks dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
Semarang – Pengajar Universitas Diponegoro Semarang Agustin Rina Herawati memberi batasan kata hoaks sebagai informasi palsu, berita bohong, fakta yang diplintir atau direkayasa untuk tujuan lelucon hingga serius (politis). Pendapat itu ia sampaikan saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Menjadi Netizen Pejuang, Bersama Lawan Hoaks”.
”Secara bahasa, hoaks (sinonim: practical joke, joke, jest, prank, trick) adalah lelucon, cerita bohong, kenakalan, olokan, membohongi, menipu, mempermainkan, memperdaya, dan memperdayakan,” ujar Agustin padadiskusi virtual yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, Selasa 28 juni 2021.
Agustin menyatakan, di era teknologi dan internet yang serba cepat seperti sekarang, setiap orang dengan mudah dan cepat mendapatkan begitu banyak informasi. Namun, sayangnya tak semua informasi yang beredar benar, di antaranya terdapat hoaks atau berita bohong di masyarakat, terutama sejak pandemi ada begitu banyak hoaks seputar isu kesehatan.
”Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah menurunkan 1.758 hoaks seputar vaksin yang tersebar di banyak platform. Penyebaran hoaks paling banyak ditemukan di media sosial Facebook, twitter, YouTube, hingga TikTok,” ujar Agustin.
Hoaks, menurut Agustin, mempunyai ciri-ciri sumber berita tidak jelas, tidak terverifikasi, tidak berimbang, dan cenderung menyudutkan pihak tertentu. Selain itu, bermuatan fanatisme atas nama ideologi, judul dan pengantarnya provokatif, memberikan penghukuman, serta menyembunyikan fakta dan data.
”Ciri khas lain hoaks adalah adanya huruf kapital, huruf tebal (bold), banyak tanda seru, dan tanpa menyebutkan sumber informasi, maupun waktu kejadiannya secara pasti,” tegas Agustin.
Berita hoaks memberikan dampak negatif bagi semua pihak. Adapun dampak yang ditimbulkan dari berita hoaks di antaranya adalah, menimbulkan perpecahan, menurunkan reputasi sesorang, tidak lagi percaya fakta, menimbulkan opini negatif, merugikan masyarakat secara luas.
”Cara mengatasi berita hoaks di dunia maya, hati-hati dengan judul provokatif, cermati alamat situs, periksa fakta, cek keaslian foto, ikut serta grup diskusi anti hoaks. Kemudian mampu berpikir dengan logika kritis, dan lakukan kondirmasi,” sebut Agustin.
Berikutnya, Direktur di Youth, Interfaith, and Peace (YIP) Riston Batuara menambahkan, berita bohong (hoaks) umumnya terkait bidang politik dan pemerintahan, ekonomi, sosial, agama, hingga masalah kesehatan. Jika hal itu dibiarkan, maka berpotensi merusak kerukunan bangsa bahkan kewibawaan pemerintah.
”Hoaks, bukan sekedar berita bohong. Meskipun seringkali disertai dengan data, tetapi data yang digunakan tidak valid, ada penyelewengan data atau penarikan kesimpulan dari data yang disengaja hanya meyertakan Sebagian saja,” ujar pengajar STTII yogyakarta itu.
Hoaks, lanjut Riston, seringkali juga disertai dengan penyebutan sumber-sumber dari orang-orang yang terpercaya, namun sumber-sumber itu tidak benar atau hanya dicatut namanya dan adapula yang mengubah isi narasinya. Hoaks juga menggunakan narasi yang dekat dengan kebutuhan masyarakat, untuk memainkan perasaan atau emosional seseorang.
”Berita bohong (hoaks) adalah musuh persatuan dan kesatuan. Ini bisa memecah belah kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu melawan hoaks perlu menerapkan budaya bangsa. Gotong Royong, Bhinneka Tunggal Ika, dan kesadaran pentingnya NKRI harus digaungkan,” jelas Riston Batuara.
Dipandu moderator Mafin Rizqi, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Razi Sabardi (Pengamat Kebijakan Publik Digital), I Komang Sumerta (Dosen FIB Universitas Ngurah Rai), dan aktris Michelle Wanda selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment