Lawan Hoaks dengan Fakta. Kalau Ketemu, Budayakan Blokir atau Lapor
Surakarta: Pepatah ini tak keliru. Satu peluru hanya bisa membunuh satu nyawa manusia. Tapi, satu berita hoaks bisa membunuh ribuan nyawa manusia. Kita tahu, Perang Dunia II itu bermula dari berita hoaks. Bukan cuma menyebab perang, tapi menjadi genocida yang tercatat dalam sejarah sebagai perang yang keji.
”Di masa sekarang, terlebih di masa pandemi Covid-19, kita begitu banyak diserbu oleh beredarnya hoaks seputar Covid yang, kalau tidak bijak dalam menyikapi, hanya menimbulkan rasa ketakutan yang tak berkesudahan,” kata Virginia Obed Nirmala, fashion influencer yang tampil sebagai key opinion leader dalam diskusi webinar literasi digital gelaran Kementerian Kominfo untuk warga Kota Surakarta, 7 Juli 2021.
Padahal, lanjut Virginia, kini banyak medsos sudah memberi sarana pencegahan agar kita terhindar dari paparan hoaks. Facebook sudah sejak 2016 memasang aplikasi bertanda dispute, semacam ditentang, untuk menandai informasi atau postingan yang bernada ketidakbenaran dan ada semacam cita rasa hoaksnya.
”Memang, kita mesti aktifkan aplikasi di akun kita, maka secara otomatis aplikasi itu akan menandai, memberi sinyal khusus kalau kita menerima berita bohong atau hoaks di akun facebook kita. Di samping itu juga banyak platform media sosial yang menerapkan aplikasi laporkan atau blokir, kalau kita tidak nyaman dengan suatu berita. Cuma, budaya gunakan aplikasi cek fakta, blokir dan laporkan atas suatu informasi, masih belum jadi kebiasaan. Akibatnya, kita malah terpapar dan malah terlibat menyebarkan tanpa mengecek kebenaran suatu berita yang kita terima,” urai Virginia dalam diskusi daring yang diantar lewat keynote speech Wali Kota Solo Gibran Rakabuming.
Dalam webinar dengan topik ”Menyaring Informasi dan Hoaks di Setiap Aktivitas Digital itu, Virginia tampil dipandu moderator seniman tari tradisi Ayu Perwari bersama pembicara lain: Dr. Riant Nugroho (pegiat literasi digital), Dr. Triana Rejekiningsih (dosen Universitas Sebelas Maret Solo), Septa A. Dinata (peneliti di Public Policy Institute di Universitas Paramadina) dan Dr. M. Anis Mashduqi (praktisi pendidikan yang juga pegiat literasi digital).
The rule number one in the internet space, there is no rule. Memang, aturan pertama dan terpenting yang mesti dipahami oleh para netizen di dunia maya adalah tidak adanya aturan main. Riant Nugroho, salah satu pembicara mengatakan, dengan posisi kita sebagai prosumer, di mana kita sebagai warga digital bisa berposisi ganda: sebagai produsen sekaligus konsumen konten informasi, maka kita mesti bisa tampil bijak dalam mengonsumsi dan memproduksi kontennya.
”Bijak menyaring dan menyadari, apakah informasi yang kita produksi bisa bernilai positif dan manfaat atau mesti dibuang kalau ternyata berdampak negatif dan berisiko negatif buat masyarakat. Karena dunia internet bebas tanpa aturan, maka bijak-bijaklah kita menjaga diri dari bahaya beragam kejahatan internet, baik itu bullying, spaming, phising. Karena kalau sampai terpapar, risikonya bisa hukum nyata di dunia nyata. Malu dan kehilangan harta kalau rekening kita dibobol maling, itu juga nyata,” ujar Riant.
Saran praktis melawan hoaks, menurut Triana Rejekiningsih, adalah kita selalu punya pikiran kritis dan selektif dalam menerima informasi. Biasakan menyeleksi informasi dalam diri kita sendiri. ”Selalu cek dengan membandingkan informasi dari sumber lain, dan terpenting bagikan kebiasan baik ini untuk lingkungan terdekat agar lingkungan kita juga tertulari kebiasaan baik ini,” ujar Triana. Lantas, bagaimana solusi buat keluarga, khususnya yang sudah tua agar tak mudah tertular hoaks?
Ini memang problem, timpal Septa A. Dhinata. Meyakinkan keluarga dekat, khususnya orangtua agar tak meyakini berita yang sejatinya hoaks, memang tak mudah. Septa menceritakan, belum lama karena ada acara keluarga, orangtuanya menolak naik pesawat dan memilih jalan darat karena ogah dan takut memenuhi syarat vaksin untuk penumpang pesawat.
Takut vaksin, karena berita hoaks. ”Nah, solusinya memang susah kalau keyakinannya ditentang. Saran saya, sebanyak mungkin hadirkan fakta positif sebagai informasi pembanding agar bisa menjadi literasi bacaan positif buat orangtua. Dengan banyak fakta positif yang dibaca orangtua akan lebih mudah diubah sikapnya,” kata Septa, memungkas diskusi. (*)
Post a Comment