Langkah Taktis Membungkam Ujaran Kebencian Ruang Digital
SEMARANG: Ujaran kebencian menjadi satu bukti bahwa perkembangan teknologi ibarat pedang bermata dua. Ujaran kebencian (hatespeech), tidak hanya dilakukan melalui website (hatesite).
"Namun ujaran kebencian juga dilakukan dengan cara memposting di media sosial berupa foto, gambar, suara, video, dan kata-kata yang dapat menimbulkan penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan agama, ceramah keagamaan," kata dosen DKV Universitas Sahid Surakarta, Ahmad Khoirul Anwar, saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema "Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya" yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (24/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Anwar menuturkan tak jarang pula ujaran kebencian juga dilakukan melalui tulisan berupa spanduk maupun banner, bisa juga dilakukan saat seseorang atau lebih berorasi di depan publik.
Anwar menjelaskan konflik yang ditimbulkan akibat ujaran kebencian bisa berupa skala yang paling ringan yaitu saling sindir atau adu mulut hingga skala paling berat berupa adu fisik dan kerusuhan dalam tingkat yang lebih besar.
"Jika masalah ujaran kebencian di media sosial tidak dapat dikendalikan maka suatu saat akan menjadi racun bagi perkembangan peradaban masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat akan mengalami kemunduran moral yang membahayakan masa depan generasi muda," kata dia.
Anwar pun mendorong media massa dan media sosial seharusnya dikembalikan pada tujuan awal, yaitu untuk memberikan informasi, pendidikan, dan hiburan bagi masyarakat, serta menjadi alat kontrol sosial bagi penyelenggaraan negara. Untuk itu, aturan soal ujaran kebencian selayaknya diapresiasi, agar masyarakat Indonesia dapat hidup dengan rukun, aman dan damai sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
"Masalah ujaran kebencian perlu disikapi secara cerdas agar tidak mudah terhasut dengan ujaran-ujaran kebencian di media massa dan media sosial," kata Anwar.
Perlu ditanamkan pemahaman yang positif, agar tidak menjadi sebuah budaya yang negatif yang bisa mengarah pada terciptanya konflik SARA, konflik yang jika dibiarkan akan dapat memicu disintegrasi bangsa, yang dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Perlu kesadaran bersama agar tercipta budaya positif, yang berdampak pada tercipta keamanan dan ketertiban sehingga masyarakat Indonesia bisa hidup secara harmonis, aman, dan damai dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika," tegasnya.
Narasumber lain webinar itu, pendidik di Global Islamic School 3 Yogyakarta Ziaulhaq Usri menuturkan untuk melawan ujaran kebencian hingga hoaks ruang digital, salah satunya menjadi warga digital yang Pancasilais.
"Warga Pancasiliais dalam arti berpikir kritis, meminimalisir Echo Chamber dan Filter Bubble, juga mau bergotongroyong, berkolaborasi serta mengkampanyekan literasi digital," tegasnya.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber pekerja dan pengembang media seni dan pelaku bisnis online pemred Swarakampus.com Krisno Wibowo, digital marketer Rhesa Radyan Pranastiko, serta dimoderatori Zacky Ahmad juga Ronald Silitonga selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment