Kemampuan Literasi Digital Jadi Modal Hadapi Integrasi Teknologi
Klaten - Integrasi teknologi digital ke dalam semua area aktivitas manusia menghasilkan perubahan mendasar dalam cara operasi dan memberikan nilai tambah pada stakeholder.
Terjadinya integrasi digital, memunculkan akselerasi literasi yang berupa pemahaman paradigma literasi tidak hanya soal membaca dan bahan bacaan berwujud manual, melainkan juga digital. Kemudian juga keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan berbentuk cetak, visual, digital dan auditori makin diperkuat.
Hal tersebut dikatakan oleh Pekerja & Pengembang Media Seni, Tomy Widiyatno dalam webinar literasi digital dengan tema “Pertemuan Budaya Tradisional dengan kemajuan Teknologi Digital” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada Jumat (8/10/2021).
Menurut Tomy, integrasi digital itu juga harus diiringi dengan pemenuhan akses internet di semua wilayah. Kemudian juga implementasi konsep literasi di semua lembaga pendidikan, meliputi literasi dasar.
Lalu, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi dan literasi visual, serta didukung gerakan literasi dalam keluarga dan nasional. “Masyarakat harus mengubah gaya hidupnya yang berawal dari budaya lisan, menjadi budaya baca,” kata Tomy di depan 850-an peserta webinar.
Tomy mengungkapkan literasi membaca Indonesia levelnya menempati peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia. Ini berdasarkan data dari Unesco pada 2019. Selain itu, data dari global world digital competitiveness index, 2020 menyebut level literasi digital Indonesia di peringkat 56 dari 63 negara.
Dengan begitu, lanjut Tomy, kemampuan membaca dan literasi digital ini cukup penting karena dalam pemanfaatan dunia digital terdapat berbagai macam bahaya yang mengintai. Misalnya, seperti pencurian identitas, penyebaran identitas yang menyebabkan perspektif salah. Lalu, penipuan online, prostitusi online, perundungan, ujaran kebencian, dan radikalisme.
Berikutnya, kejahatan berupa phishing yakni serangan manipulatif yang membahayakan dengan membobol data-data penting seperti rekening ATM atau berbagai file berharga. Akun juga bisa digunakan untuk perjudian online, dan lainnya. “Biasanya tindakan kriminal ini terjadi karena penyerang sudah mendapatkan informasi sensitif korban yang tertinggal di internet,” ujarnya.
Terkait ancaman reputasi profesional. Perekrut calon pekerja atau mitra kerjasama kini akan mempertimbangkan pola hidup serta kepribadian kandidat berdasarkan aktivitas di media sosial. Jika ditemukan aktivitas negatif, maka reputasi profesional akan tercoreng.
Tomy membeberkan ada beberapa cara untuk menjadi warga digital positif dan aman. Pertama yakni pilah-pilih informasi yang akan disebar, berdampak baik atau tidak. Lalu melakukan saring sebelum sharing informasi atau konten.
“Jangan mudah percaya info yang tidak masuk akal, jauhi phising dengan tidak meng-klik link sembarangan. Gunakan password yang sulit agar tidak mudah diretas. Lalu untuk akun atau gawai, biasakan menggunakan dua kali verifikasi keamaman dan update perangkat atau softwarenya,” ucapnya.
Narasumber lainnya, Dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Denik Iswardani Witarti mengatakan masyarakat digital terbentuk dari hubungan antar manusia yang terjadi melalui teknologi dengan memanfaatkan jaringan internet dan media atau platform tertentu.
Untuk menjadi masyarakat digital yang baik, pengguna harus memiliki kemampuan berupa etika digital. “Etika digital yakni individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari,” paparnya.
Dipandu moderator Fernand Tampubolon, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Diasma Sandi Swandaru (Kabid Advokasi dan Kerjasama Pusat Studi Pancasila UGM), Iis Lathifah Nuryanto (Dosen Universitas PGRI Yogyakarta), dan Putri Batik Nusantara 2018, gloria Vincentia selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment