Kebebasan Berekspresi yang Bijak Mesti Diikuti Tanggung Jawab
Pemalang : Mengutip data Worldometer 2020, penduduk bumi saat ini sudah menembus angka 7,85 miliar manusia. Di mana 57 persen di antaranya hanya tersebar di 10 negara dan populasi terbesar tetap berada di China. Yang menarik, 4,5 miliar di antaranya alias hampir 60 persen populasi penduduk dunia sudah terkoneksi internet. Dan, dalam beragam platform digital, mereka menyalurkan aspirasi dan beragam kebebasan berekpresinya dengan beragam cara tentu dengan beragam risiko yang ditimbulkan kemudian.
”Di sinilah muncul pemikiran sejak dulu, kalau kebebasan berekspresi perlu diatur dalam undang undang secara tegas. Dengan tujuan, para pelaku di dunia nyata, terlebih dunia maya yang makin luas tanpa batas, tidak berlaku bebas yang kebablasan,” ujar Dr. Ipah Ema Jumiati, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, saat menjadi narasumber webinar literasi digital: Indonesia Makin Cakap Digital, yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Pemalang, 11 Oktober 2021.
Di Indonesia, kebebasan berekspresi dan berpendapat diatur dalam UUD 1945 pasal 28 E, yang menyebut bahwa setiap orang bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Aspirasinya bisa disalurkan dengan cara dan media apa pun, seperti tercantum dalam pasal 28 huruf F. Cuma, apakah dengan begitu, terlebih di media digital, kita warga Indonesia boleh sebebasnya berekspresi dan menyampaikan pendapat?
Tentu ada aturan yang menatanya agar tetap terkendali dan tidak sembrono. Dosen Unugha Cilacap M. Fathikun menyebut Pasal 45b dan 27 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 19 tahun 2016 memberi sinyal: jangan sembarang menyampaikan umpatan dan ujaran kebencian, bahkan bernada mengancam orang, terlebih dengan perantara jaringan eletronik, internet.
”Ada ancaman penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar. Artinya, kebebasan berekspresi di dunia digital yang tanpa batas itu tetap ada aturan hukum yang mencegahnya agar tidak berlebihan. Jangan lebay, jangan sembrono. Ada kepantasan yang mesti dijaga demi kenyamanan dan keamanan bersama,” papar Fathikhun.
Webinar yang mengupas topik serius: ”Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital” ini diikuti ratusan peserta lintas profesi dan generasi dari seputar pantura Pemalang. Meski berlangsung secara daring tapi tetap semarak dan antusias. Fathikun dan Ipah Ema tampil bersinergi, dipandu moderator Danis Septiana Citra, serta key opinion leader Reza Tama. Selain mereka, juga tampil dua pembicara lain:Misbahul Munir, fasilitator UMKM Desa, dan Iis Lathifah Nuryanto, dosen Universitas PGRI Yogyakarta.
Setelah paham aturannya, maka agar tak melanggar di ruang digital, kita mesti paham apa itu ujaran kebencian, cyber bullying yang biasa disebut ancaman digital. Walau mungkin maksudnya bercanda, kadang body shaping, ancaman fisik di medsos ditafsirkan serius dan bikin yang menerimanya tidak nyaman dan berlanjut menjadi tekanan batin.
”Banyak remaja suka mengolok teman di kelas online, dilanjut candaan fisik, ’Idih, kamu item, gendut lagi’. Atau, ’Kamu makin keriting sih, jarang mandi yaa’. Keisengan itu kadang membuat teman lain suka ikutan dan jadi bullying sekelas. Ini yang bikin tekanan batin dan membuat ruang kelas online jadi tidak nyaman,” kata Fathikhun.
Di Inggris, lanjut Fathikhun, bullying semacam itu pernah memicu heboh. Gara-gara mengejek baju temannya tidak bagus dipakai ke sekolah, anak yang diledek itu sampai takut sekolah dan bunuh diri. Makanya, di Inggris, bullying anak secara digital diatur dalam undang-undang negara, dan kita mengarah ke sana juga.
”Jadi, mari bersama para netizen mengontrol diri. Jangan sampai kebablasan dalam berekspresi di ruang digital, karena ancamannya nyata, pedas dan tegas. Karena memang, kebebasan yang bijak mesti diikuti dengan tanggung jawab, apa pun risiko yang akan timbul,” ujar Fathikhun. (*)
Post a Comment