Kabar Bohong dan Berita Palsu Masih Jadi Ancaman Demokrasi
Purbalingga – Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 167 negara dalam daftar indeks demokrasi global tahun 2019. Menurut data yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia mencatatkan skor sebesar 6,48 poin dalam skala 0-10. Kondisi indeks demokrasi Indonesia cenderung rendah jika dibandingkan dengan tahun 2016 menempati peringkat ke-48 dengan skor 6,79.
”Skor tersebut merosot pada 2017 dan menjadikan Indonesia stagnan di peringkat 68,” ujar Elly Hasan Sadely saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Demokrasi Berlandaskan Pancasila: Antara Hatespeech dan Kebebasan Berpendapat” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu (2/10/2021).
Menurut Ketua Program Studi PPKn FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto itu, riset yang dilakukan EIU menggunakan lima instrumen untuk penilaian yakni: Proses Pemilu dan Pluralisme; Fungsi Pemerintah; Partisipasi Politik; Budaya Politik; dan Kebebasan Sipil.
”Indonesia mendapat nilai 7.92 untuk Proses Pemilu dan Pluralisme, 7.14 Fungsi Pemerintah, 6.11 Partisipasi Politik, 5.63 Budaya Politik, dan 5.59 Kebebasan Sipil,” sebut Hasan Sadely.
Angka hasil penilaian tersebut bagi Hasan Sadely tidaklah mengejutkan, mengingat pemahaman masyarakat tentang demokrasi di Indonesia masih terbilang rata-rata. Artinya, lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia masih belum mengerti tentang apa, mengapa, dan bagaimana demokrasi.
Kondisi demokrasi di Indonesia juga tercermin dari survei nasional anak muda tentang sosial politik dan pembangunan (Sospolbang) yang dilakukan Indikator (2021). Kebanyakan anak muda menilai kondisi ekonomi nasional pada umumnya sekarang buruk atau sangat buruk 47.5 persen. Sedangkan indikator praktik demokrasi elektoral, mayoritas (52.8 persen) merasa sangat atau cukup puas terhadap pelaksanaan atau praktik demokrasi.
”Namun anak muda menganggap kondisi demokrasi di Indonesia tergolong kurang demokratis (40 persen). Sedangkan yang menjawab Indonesia lebih demokratis hanya 15.5 persen,” tegas Hasan Sadely.
Hasan Sadely menambahkan, demokrasi sedang dijalankan Indonesia memiliki sejumlah ancaman. Mulai dari absennya masyarakat sipil yang kritis pada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, massifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu, hingga rendahnya keadaban politik warga dan intoleransi.
Berikutnya, Ketua DPC PA GMNI Kabupaten Purbalingga Heru Tri cahyono menyatakan, internet dianggap sebagai saluran yang menawarkan kebebasan demokrasi yang hampir tak terbatas untuk melacak informasi, untuk berkorespondensi dengan ribuan individu lain.
Masyarakat menganggap dunia maya (dalam hal ini sosial media) menjadi wadah terbaik dalam menyuarakan pendapat dan ekspresi terhadap permasalahan yang dihadapi.
”Namun, kebebasan dalam dunia maya itu menimbulkan permasalahan baru, yaitu hoaks dan hate speech. Masyarakat sangat mudah menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya dan menyampaikan ujaran-ujaran kebencian. Semuanya itu didasari dengan alasan yang sama, yaitu hak untuk bebas berpendapat,” jelas Heru Tri Cahyono.
Dipandu moderator Praktisi Komunikasi Anneke Liu, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Erfan Ariyaputra (Training & Development Expert), Krisna Murti (Dosen Universitas Sriwijaya Palembang), dan musisi Ayonk selaku key opinion leader. (*)
Post a Comment